Sholawat Nahdliyah merupakan salah satu shalawat gubahan ulama Nusantara. Sholawat Nahdliyah disusun oleh Almaghfurlahu KH. Hasan Abdul Wafi, Pengawas Pondok Pesantren Nurul Jadid, Karanganyar, Paiton Probolinggo. Sholawat  Nahdliyah saat ini cukup popular dan banyak diperdengarkan di berbagai tempat di penjuru tanah air.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ صَلَاةً تُرَغِّبُ وَتُنَشِّطُ وَتُحَمِّسُ بِهَا الْجِهَادْ لِإِحْيَاءْ وَإِعْلَاءِ دِيْنِ الْإِسْلَامْ وَإِظْهَارِ شَعَائِرِهْ عَلَى طَرِيْقَةِ جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ الْعُلَمَاءْ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
اَللّٰهْ اَللّٰهْ اَللّٰهُ 

اَللّٰهْثَبِّتْ وَانْصُرْ أَهْلَ جَمْعِيَّةْ جَمْعِيَّةْ نَهْضَةِ الْعُلَمَاءْ، لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللّٰهْ

“Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya, yang dengan berkah bacaan shalawat ini, jadikanlah kami senang, rajin, dan semangat dalam berjuang menghidupkan dan meninggikan agama Islam serta menampakkan syi’ar-syi’arnya menurut cara Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Ya Allah, teguhkanlah pendirian dan berikanlah kemenangan bagi warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) untuk meninggikan Kalimatillah (agama Islam dan seluruh ajarannya)“.

KH Hasan Abdul Wafi  sang penggubah sholawat yang cukup syahdu jika dilantunkan ini merupakan sosok ulama yang sangat mencintai NU. Shalawat Nahdliyyah merupakan shalawat yang lahir atas rasa cintanya yang amat mendalam kepada NU.  Dalam shalawat itu disisipkan doa-doa untuk membangkitkan semangat perjuangan dalam menghidupkan dan meninggikan kalimah Illahi, meneguhkan pendirian serta mensyiarkan Islam bersama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Doa untuk kemenangan NU dan Islam, juga disematkan dalam shalawat tersebut. 

Tak jelas, kapan sholawat ini digubah oleh KH. Hasan Abdul Wafi. KH. Zuhri Zaini, selaku Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid yang juga adik iparnya ketika kami tanyakan saat bersilaturrahmi di kediamannya juga tidak mengetahui persis kapan sholawat ini tercipta. Namun diperkirakan sholawat Nahdiyah ini dikarang saat KH. Hasan Abdul Wafi menjadi pengurus Nahdlatul Ulama’.

Hal ini diamini oleh Nyai Hj. Ja’faroh, putri KH. Hasan Abdul Wafi yang tinggal di Jember dikutip dari laman NU Online.”Abah menciptakan shalawat itu ketika saya masih anak-anak, masih (sekolah) SD” kenang Nyai Ja’faroh Wafie.

Awalnya shalawat ini menjadi ‘wiridan’ keluarga besar KH. Hasan Abdul Wafi. Lalu diperkenalkan kepada MWCNU setempat, dan berlanjut hingga ke PCNU Kraksaan, Probolinggo.Adalah KH. Muhyiddin Abdusshomad, sosok yang selalu memperkenalkan shalawat Nahdliyah dalam setiap acara NU. Shalawat Nahdliyah itu disenandungkan untuk kemudian direkam.

Dalam Buku Selayang Pandang Pondok Pesantren Nurul Jadid disebutkan bahwa, KH Hasan Abdul Wafi merupakan ulama yang begitu cintanya pada NU. Konon, kakak kandungnya, KH Achmad Sufyan Miftahul Arifin, adik sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Sumber Bunga, Sletreng, Panji, Situbondo dan Mursyid Thariqah Naqsabandiyah ini mengajurkannya agar menjadi mursyid, karena atas sikap kerasnya pada menjalankan syariat islam.

Namun, Kiai Hasan menolak anjuran tersebut. Menurut beliau selama memimpin NU, beliau tidak bisa menjadi mursyid. Kiai Hasan tercatat menjadi Rais Syuriah PCNU Kraksaan selama dua periode. “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja,” ujarnya

KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam satu pidatonya di tahun 2001 di Surabaya pernah menyatakan bahwa ada empat tokoh ulama di Jawa Timur yang tidak kuasa baginya untuk menolak perintahnya: KH. Imam Zarkasyi Djunaidi Banyuwangi (wafat 2001), KH. Ahmad Sofyan Miftahul Arifin Situbondo (wafat 2012), dan KH. Khotib Umar Jember (wafat 2014), dan KH. Hasan Abdul Wafi sendiri. Pada sosok Kyai Hasan, Gus Dur sendiri sangat takzhim, bahkan menyapa beliau sebagai “sayyidil-walid” (orang tua sendiri). 

KH. Hasan Abdul Wafi lahir pada tahun 1923 di Desa Sumberanyar, Tlanakan, Pamekasan, Madura, dengan nama kecil Abdul Wafi. Beliau adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan KH. Miftahul Arifin dan Nyai Hj. Latifah. Keenam saudara beliau adalah KH. Ahmad Sayuti, Nyai Hj. Atiyah, KH. Zainullah, KH. Masduqi (ayahanda KH. Badri Masduqi yang merupakan besan KH. Maftuh Sa’id, Malang), KH. Syarqowi, dan KH. Sufyan Miftahul Arifin (besan KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo).

Sejak kecil Lora Abdul Wafi – demikian beliau disapa dan “lora” semakna dengan “gus” di Jawa – telah mendapatkan pendidikan agama langsung dari ayahandanya, KH. Miftahul Arifin. Terutama dalam pelajaran al-Quran, fiqih dan tafsir. Sekitar tahun 1938, ketika berusia enam tahun, beliau harus rela kehilangan ibunda tercintanya untuk selama-lamanya. Lima tahun kemudian, ayahandanya wafat.

Meski ditinggal kedua orang tuanya, hal itu tak menyebabkannya larut dalam lautan duka. Selanjutnya beliau menimba ilmu di Madrasah Diniyyah di Desa Branta, Tlanakan, Pamekasan dibawah asuhan Sayyid Hasan bin Alwi dan KH. Ahmad Sayuti, kakak kandungnya.Beliau nyantri dan berguru pada KH. Abdul Majid bin KH. Abdul Hamid bin KH. Isbat Banyuanyar (wafat 1957) di Pesantren Bata-bata, Panaan, Palengaan, Pamekasan. 

Kemudian beliau meneruskan proses belajarnya ke Tanah Suci Mekah sekaligus menjalankan rukun Islam kelima, naik haji. Sepulang dari tanah suci, nama beliau kemudian ditambah dengan nama Hasan di depan, sehingga menjadi KH. Hasan Abdul Wafi.Sepulang dari Mekah beliau berguru lagi ke beberapa ulama di sejumlah pesantren di Jawa. Di antaranya kepada KH. Sahlan di Pesantren Krian, Sidoarjo, belajar tasawuf selama dua tahun. Selanjutnya pada KH. Musta’in Ramli di Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, beliau belajar tasawuf sekaligus Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Di Peterongan Kiai Abdul Wafi berteman akrab dengan KH. Hasyim Zaini, putra sulung KH. Zaini Mun’im. Lalu, pada KH. Munawwir di Pesantren Krapyak Yogyakarta, beliau belajar ilmu-ilmu al-Quran, tafsir dan qira’at.

Baru pada tahun 1957 beliau kemudian nyantri ke Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, bersama kakaknya, KH. Ahmad Sofyan Miftahul Arifin. Di sana beliau nyantri sekaligus membantu kiai pengasuh mengajar. Kiai Abdul Wafi dikenal sebagai orang alim kedua di Nurul Jadid setelah gurunya. Bahkan sudah hafal kitab Fathul-Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari dalam bidang fiqih. Beliau juga sudah hafal kitab Alfiyah dalam 40 hari.  Pada tahun 1958 dalam usia 35 tahun Kiai Hasan Abdul Wafi menikah dengan Nyai Hj. Aisyah, putri kesayangan Kiai Zaini Mun’im. Mereka dikaruniai 12 putra-putri. 

“Kyai Hasan Abdul Wafi dikenal akan gigihnya berjuang bersama NU. Beliau begitu telaten berkhidmah pada NU, sampai suatu ketika sakitpun beliau memaksakan diri untuk tetap mengisi pengajian warga NU yang diasuhnya” Tutur KH. Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid di kediamannya, Ahad, (14/4).
Khidmah KH. Hasan Abdul Wafi di NU dimulai semenjak dekade 1970-an Kiai Hasan Abdul Wafi aktif dalam politik. Awalnya di Partai NU dan menjadi anggota DPRD Kabupaten Probolinggo dari tahun 1971 hingga 1976. Setelah NU kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar Situbondo tahun 1984, Kiai Hasan Abdul Wafi mulai meninggalkan politik, dan fokus mengurus NU dan pesantren.

Selanjutnya Kiai Hasan dipercaya sebagai Rais Syuriyah PCNU Kraksaan, Probolinggo, dalam dua periode sejak tahun 1971. Selama menjabat beliau aktif menggerakkan pengajian- pengajian kampung seperti menggalakkan pengajian kitab yang beliau sebut “S2″ (Sulam Safinah” di masjid-masjid setempat.

Kiai Hasan Abdul Wafi merupakan sosok ulama yang berdedikasi tinggi untuk membesarkan organisasi NU. Kecintaan beliau ditularkan terlebih kepada para santri-santrinya yang sudah memperoleh gelar sarjana. Kepada mereka, Kiai Hasan selalu menganjurkan mereka untuk aktif berjuang di NU. 

KH. Hasan Abdul Wafi wafat pada hari Rabu tanggal 31 Juli 2000 dan dimakamkan di lingkungan Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur tepatnya di sebelah Musholla selatan pesantren. Jasad beliau dimakamkan tidak berada dalam satu kompleks dengan pengasuh Nurul Jadid lainnya, karena sebagaimana wasiatnya karena takdzimnya pada para keluarga pendiri dan pengasuh Pesantren Nurul Jadid. Semoga amal jariyah beliau diterima di sisi-Nya dan kita dapat melanjutkan estafet perjuangannya khususnya di Jamiyyah Nahdlatul Ulama’.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *