Desa Jatisari kecamatan Tajinan Kabupaten Malang menyimpan sejarah panjang tentang kejawaan dan keislaman. Salah satu yang bisa kita lacak adalah dengan adanya punden atau makam sesepuh. babat alas adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menyebut para sepuh. Namun pengistilahan ini juga beragam, ada yang menyebut para sepuh sebagai dedanyang, papundeng dan kramat.
Salah satunya adalah Makam Panembahan Jago Pati, ia diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai salah satu yang babat alas desa Jatisari. Menurut salah satu Juru Kunci; Muhammad Abidin, “Mbah Jago Pati nama aslinya adalah Syaih Muhammad Mahmudi bin Yusuf, beliau datang dari Serang Banten, dan masih keturunan dari Sunan Gunung Jati.” Tentu hal ini dibuktikan dengan silsilah yang ditempelkan di dinding musholah yang berdampingan dengan Makam.
Tentu banyak versi tentang cerita kedatangan Mbah Jago Pati, apalagi daerah yang didatangi adalah dearah Jatisari. Di mana, daerah ini dulunya adalah daerah yang penuh dengan kebun jati, lalu untuk membuat pemukiman penduduk yang semakin ramai, akhirnya jati-jati itu ditebang (babat). Beberapa sumber mengatakan bahwa Mbah Jago Pati adalah generasi terakhir yang melakukan babat alas di daerah yang nantinya dinamakan Jatisari.
Generasi awal yang dimaksud adalah Buyut Sareh, Buyut Marwi dan Buyut Timah. Mereka datang dari Pati dengan misi menyebarkan agama. Sayangnya, penulis belum bisa sepenuhnya mendapatkan informasi yang jelas tentang ketiga buyut tersebut.
Dari Silsilah yang ada di dinding mushola itu dapat dilihat bahwa Panembahan Jago Pati adalah Putra dari Pangeran Jusuf bin Sultan M. Zainul Abidin (1690) bin Sultan Haji Abu Nashr Abdul Kahar (1672) bin Sultan Abdul Fatah (1651) bin Sultan Ahmad (1632) bin Sultan Abulmafachir Mahmud Abdul Kadir (1626) bin Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten (1600) bin Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1574) bin Maulana Hasanudin Panembahan Surasuwan (1552) bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Cerita yang lain menjelaskan bahwa Panembahan Jago Pati adalah bagian dari prajurit Diponegoro yang menyebar ke beberapa penjuru Jawa dan Nusantara untuk menggalang pertahanan atas penjajah. Dari mendirikan pesantren, ikut mengembangkan teknologi pertanian, berdagang dan mendirikan padepokan untuk mengajarkan silat dan kanuragan.
Pangeran Diponegoro tertangkap pada Maret 1830. Ia diasingkan ke Manado. Sedangkan beberapa bala tentaranya menyebar ke beberapa wilayah di nusantara, khususnya Jawa. Salah satunya adalah di Jatisari. Walaupun ada cerita yang berkembang di masyarakat sekitar bahwa Jagopati adalah nama satuan militer seperti halnya batlion Ketika perang. Hal ini diperkuat dengan adanya Markas militer yang jaraknya tidak jauh dari makam, sekitar 1,5 Km menuju kea rah timur.
Perkara benar tidaknya cerita di masyarakat perlu kita perdalam dan telisik lagi. Dengan harapan, dari tulisan awal ini, kemudian muncul beberapa sumber lain yang menunjang atas cerita dari Mbah Jagopati.
Namun yang terpenting dari itu semua adalah, korelasi makam dengan wilayah sekitar. Di mana lahan pertanian yang luas dan subur hijau meraya adalah bagian terpenting dari sebuah Kerjasama yang dibangun dan diwariskan oleh beliau kepada masyarakat. “Sistem pertanian dan beberapa alat pertanian di sini adalah warisan dari mbah-mbah yang dulu masih nututi beliaunipun Mbah Jagopati.” Tutur Juru kunci.
Artinya, datangnya Panembahan Jagopati ke wilayah Jatisari adalah dengan misi mengembangkan manusia, kesadaran bekerjasama dengan alam, menjaganya dan menafaatkannya dengan sebaik mungkin. Di samping syiar agama, membangun pertahanan atas dasar semangat Diponegor, dan membangun peradaban manusianya. []
Penulis adalah A.Dahri, Lahir pada 1993, Belajar menulis sejak di MA. Kesibukannya membesarkan anak dan melayani istri. Selebihnya masih dalam penjajakan.
Ahmad Dahri
081390718248
Baru punya Twitter; A.Dahri
Email; Lekdah91@gmail.com
No responses yet