Oleh: Muhammad Rizky kurniyanto ( Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof.Dr Hamka)
Hukum Waris Islam di Indonesia: Tantangan dan Isu Praktis dalam Pembagian Harta Peninggalan
Hukum waris Islam adalah bagian integral dari syariat Islam yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang kepada ahli warisnya. Tujuan utama dari hukum ini adalah untuk memastikan keadilan dalam distribusi harta dan menjaga keharmonisan dalam keluarga. Meskipun demikian, penerapan hukum waris Islam sering kali menghadapi berbagai tantangan, baik berupa perbedaan tafsir maupun penyimpangan dari ketentuan syariah yang berlaku, baik dalam kasus pewarisan umum maupun dalam kasus-kasus spesifik (Khotimah, K., 2022).
Rukun Utama dalam Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam diatur secara rinci dalam Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama, yang membentuk dasar sistem pewarisan. Tiga rukun utama dalam sistem ini adalah pewaris (al-Muwarris), ahli waris (al-Waris), dan harta peninggalan (al-Maurus). Sistem ini bertujuan untuk menjamin hak semua pihak yang terkait, termasuk kategori Dzawil Furudh (ahli waris yang mendapat bagian tetap), Dzawil Ashabah (ahli waris yang mendapat sisa pembagian setelah Dzawil Furudh), dan Dzawil Arham (kerabat jauh). Pembagian ini disesuaikan dengan kedekatan hubungan mereka dengan pewaris (Fahrullah, A. A., 2021). Namun, dalam praktiknya, penerapan sistem ini sering menemui berbagai kendala, salah satunya adalah perbedaan tafsir hukum yang dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda mengenai siapa yang berhak menerima warisan. Selain itu, ada juga penyimpangan dalam pembagian yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, yang sering kali memicu konflik di antara ahli waris.
Persoalan Khusus dalam Hukum Waris Islam
Beberapa persoalan khusus juga memperumit pelaksanaan hukum waris, seperti kewarisan anak angkat dan Dzawil Arham. Dalam hukum Islam, anak angkat tidak dianggap sebagai ahli waris langsung dari orang tua angkatnya, meskipun terdapat alternatif lain dalam bentuk wasiat wajibah, yang diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini berbeda dengan hak-hak waris yang diterima oleh anak kandung atau ahli waris langsung. Sementara itu, permasalahan mengenai Dzawil Arham (kerabat jauh) juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mengakui hak mereka dalam pembagian harta warisan apabila tidak ada ahli waris langsung, sementara yang lain mengutamakan baitul mal (pusat keuangan negara) sebagai penerima harta peninggalan jika tidak ada ahli waris yang sah (Muni, A., 2019).
1. Dzawil Furudh: Ahli Waris dengan Bagian Tetap
Dzawil Furudh adalah kelompok ahli waris yang mendapatkan bagian harta secara eksplisit menurut ketentuan Al-Qur’an dan Hadis. Mereka meliputi keluarga langsung seperti ayah, ibu, anak perempuan, suami, dan istri. Pembagian ini ditentukan dalam beberapa kategori berdasarkan jenis kelamin dan hubungan kekeluargaan, antara lain:
- Golongan yang Mendapat 2/3 Harta Warisan:
Dua atau lebih anak perempuan yang tidak memiliki saudara laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki tanpa cucu laki-laki, atau dua saudari kandung tanpa saudara laki-laki. (QS. An-Nisa [4]: 176).
فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
“Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal”
- Golongan yang Mendapat 1/3 Harta Warisan:
Ibu kandung jika pewaris tidak memiliki anak atau dua saudara (QS. An-Nisa [4]: 11).
فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَك
“Maka apabila anak perempuan ada dua orang atau lebih, maka mereka mendapat 2/3 dari harta warisan “
- Golongan yang Mendapat 1/6 Harta Warisan:
Ibu kandung jika pewaris memiliki anak, cucu, atau dua saudara (QS. An-Nisa [4]: 11).
Selain itu, ada kelompok yang memperoleh ½, ¼, atau ⅛ bagian dari warisan, bergantung pada situasi dan hubungan mereka dengan pewaris, seperti janda, duda, atau saudara laki-laki dan perempuan dalam keluarga (QS. An-Nisa [4]: 12, 176).
Jika harta warisan tidak cukup untuk dibagikan sesuai bagian yang telah ditetapkan, maka bagian ahli waris akan dikurangi secara proporsional (kasus aul). Sebaliknya, jika ada sisa harta, tambahan bisa diberikan kepada ahli waris yang sesuai (kasus rad), kecuali untuk duda dan janda yang tidak mengalami penambahan pada bagian mereka (KHI Pasal 192 dan 193).
2. Ashabah: Ahli Waris yang Mendapat Sisa Harta
Ashabah, yang berarti pelindung atau pembela, adalah kelompok ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadis, namun memperoleh sisa dari pembagian warisan setelah bagian Dzawil Furudh diberikan. Mereka bisa mendapatkan seluruh atau sebagian sisa harta, tergantung pada siapa yang masih hidup dan bagaimana hubungan kekerabatannya dengan pewaris.
- Golongan Ashabah bin Nafsi: Ahli waris laki-laki yang terkait langsung tanpa perantara perempuan, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki, atau saudara laki-laki.
- Golongan Ashabah bil-Ghair: Ahli waris perempuan yang menjadi Ashabah karena adanya kerabat laki-laki, seperti anak perempuan yang berhak bersama anak laki-laki atau saudara perempuan bersama saudara laki-laki.
- Golongan Ashabah ma’al-Ghair: Ahli waris perempuan yang menjadi Ashabah bersama kerabat perempuan lainnya, seperti saudara perempuan yang berbagi warisan dengan anak perempuan.
3. Dzawil Arham: Ahli Waris Tanpa Bagian Tetap
Kelompok Dzawil Arham adalah ahli waris yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, tetapi tidak termasuk dalam kategori Dzawil Furudh atau Ashabah. Mereka hanya berhak atas warisan jika tidak ada ahli waris yang memenuhi kategori tersebut. Misalnya, keturunan dari anak perempuan, saudara sebapak atau seibu, dan kerabat jauh lainnya (Nurul 2016).
- Golongan Dekat (Langsung): Anak, ibu, bapak, janda atau duda, yang memiliki hak penuh atas warisan.
- Golongan Tidak Langsung (Melalui Perantara): Seperti kakek dan cucu, yang dapat terhalang jika ada golongan langsung yang masih hidup.
Keutamaan Hubungan Dekat dalam Pembagian Warisan
Sistem pembagian warisan dalam Islam mengutamakan hubungan yang lebih dekat, baik dari jalur ayah maupun ibu. Pembagian ini juga terlihat dalam sistem Ashabah, di mana laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dibandingkan perempuan dalam banyak kasus. Misalnya, jika pewaris meninggalkan anak perempuan dan anak laki-laki, maka anak laki-laki akan mendapatkan dua bagian, sedangkan anak perempuan hanya satu bagian.
Kesimpulan
Penelitian mengenai pembagian warisan secara sistematis sangat penting untuk memahami peran Dzawil Furudh, Dzawil Ashabah, dan Dzawil Arham dalam distribusi harta warisan. Penting untuk memastikan bahwa hukum waris Islam diterapkan dengan tepat agar tercipta keadilan bagi semua pihak yang terkait. Selain itu, perlunya pembaruan dalam praktik hukum waris, dengan memperhatikan konteks sosial, budaya, dan hukum yang berlaku, sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam pelaksanaannya (Rahim, A., 2021). Melalui pemahaman yang mendalam dan penerapan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, hukum waris Islam dapat memberikan solusi yang adil dan harmonis dalam pembagian harta warisan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain yang menganut sistem hukum serupa.
Referensi
Fahrullah, A. A. (2021). AHLI WARISDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN KUHPerdata (Burgerlijk Wetbook). Hukum Islam, 21(1), 59. https://doi.org/10.24014/jhi.v21i1.9321
Rahim, A. (2021). Penyelesaian Kewarisan Dzawil Arham Dalam Kompilasi Hukum Islam. TAQNIN: Jurnal Syariah Dan Hukum, 3(1), 80–91. https://doi.org/10.30821/taqnin.v3i01.9515
Muni, A. (2019). Reaktualisasi Hukum Waris Islam Di Indonesia. Al Hikmah: Jurnal Studi Keislaman, 9(2), 207–226.
Khotimah, K. (2022). PEWARISAN DZAWIL ARHAM BERSAMA ASHABUL FURUDH( Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bangka Belitung No. 4/Pdt.G/2020/PTA.BB). Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Peradilan Islam, 3(2), 129–138. https://doi.org/10.15575/as.v3i2.19924
No responses yet