Penelusuran Rekam Jejak Kesultanan Samudera Pasai dari Bumi Serambi Mekah
Sultan Malik Al-Saleh adalah seorang raja yang mendirikan Samudera Pasai, sebuah kerajaan muslim yang berpusat di Aceh Utara yang berdiri sejak tahun 1267. Beliau memerintah Kesultanan Samudera Pasai sekaligus menyebarkan Islam di Asia Tenggara selama 30 tahun (1267-1297 M).
Nama aslinya Sultan Malik As-Saleh adalah Mara Silu, Merah Silu, atau Muerah Silu. Diberi nama demikian karena beliau melihat seekor semut sebesar kucing, dia menangkapnya dan memakannya. Ia menamai tempat itu Samudera, yang berarti laut dalam bahasa Sanskerta. (Wikipedia)
Dalam Buku Awal Masuk Islam ke Aceh, Dr. Husaini Ibrahim mengutip dari Hikayat Raja Pasai dikisahkan tentang pembukaan negeri Samudera Pasai dan raja-raja pertama masuk islam. Raja Meurah Silu yang pertama masuk Islam dan menerima pakaian kebesaran dari utusan Syarif Mekkah H. Ismail namanya. Setelah Meurah Silu diislamkan oleh Syarif Mekkah nama Meurah Silh diganti nama menjadi Malik As-Saleh
Husaini Ibrahim mengutip dari Hasjmy juga mengatakan Sultan Malikus Saleh menikah dengan Putri Ganggang Sari putri dari Sultan Makhdum Malik Ibrahim dari Kerajaan Islam Peureulak dan memiliki dua putra. Kerajaan Peurelak sendiri merupakan salah satu kerjaan tertua di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada tahun 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, seorang keturunan Qaraisy dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Sultan Malikus Saleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H bertepatan dengan tahun 1297 M. Beliau dimakamkan di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Nisan ini merupakan warisan budaya bernilai sejarah yang begitu tinggi. Di batu nisan makamnya berhiaskan kaligrafi berupa ayat-ayat suci dan uraian tentang penghormatan kepada Sang Sultan. Selain itu batu nisan ini juga menjadi bukti shahih bahwa Islam telah masuk dan berkembang di Bumi Nusantara sejak ratusan tahun silam.
Dalam Buku “Tinggalan Sejarah Samudra Pasai” Taqiyuddin Muhammad, seorang peneliti sejarah dan kebudayaan Islam menyebutkan inskripsi dari batu nisan Sultan Malikus Saleh yang tertulis dengan bahasa Melayu dan Aksara Arab sebagai berikut:
هذا القبر المرحوم المغفور التقي الناصح الحسبب النسيب الكريم العابد الفاتح الملقب سلطان ملك الصالح الذي انتقل من شهر رمضان سنة ست وتسعين وست ماءة من انتقال النبوية سقى الله الثره وجعل الجنة مثواه لا اله الا الله محمد رسول الله
“Hadza al-qabr al-marhum al-maghfur at-taqiy an-nashih al-hasb an-nasb al-karim al-abid al-fatih al-mulaqqab sulthan Malik ash-Shalih alladzi intaqala min syahri Ramadhan sanata sitt wa tisi’na wa sittumi’ah min intiqal an-nabawiyyah saqa Allhu tsarahu wa ja’ala al-jannata matswhul la ilha illa-Lalhu Muhammad Rasulullah.”
Makna dari kalimat itu ialah: “Inilah kubur orang yang dirahmati lagi diampuni, orang yang bertaqwa (takut kepada murka dan azab Allah) lagi pemberi nasehat, orang yang berasal dari keluarga terhormat dan dari silsilah keturunan terkenal lagi pemurah (penyantun), orang yang kuat beribadah (‘abid) lagi pembebas, orang yang digelar [dengan] Sultan [Al-]Malik Ash-Shalih, yang berpindah [ke rahmatullah] dari bulan Ramadhan tahun 696 dari hijrah Nabi [SAW.]. Semoga Allah menyiramkan [rahmat-Nya] ke atas pusaranya serta menjadikan syurga tempat kediamannya. Tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah).
Dalam inskripsi pada batu nisan bagian selatan juga tertulis doa dan nasehat-nasehat, sebagai berikut:
اللهم اغفرله (وارحمه؟)
انما الدنيا فناء ليس للدنيا ثبوت انما
الدنيا كبيت نسجته العنكبوت لقد يكفيك منها
ايها الطالب قوت وي عن العمر قليل كل من فيها يموت
“Allahumaghfirlahu (warhamu?)
-&Innama ad-dunya fana’ laisa li ad-dunya tsubut innama ad-dunya kabayt nusjatuhu al-ankabut laqad yakfika minha. Ayyuha at-thalibu (quut way) an al-umr qalilun kullu man fiiha man yamuut”
“Semoga Allah mengampuni (dan mengasihaninya).
Dunia itu hanyalah kefanaan. Dunia sama sekali tidak memiliki keabadian.
Dunia itu tak ubahnya sarang yang dirajut laba-laba. Cukuplah bagimu dari dunia sekedar untuk hidup. Alangkah singkatnya umur. Sungguh semua yang diatasnya pasti akan mati”
Lewat inskripsi pada nisan makam menurut ahli sejarah dari Samudera Pasai mencatat bahwa Sultan adalah orang yang bertaqwa lagi pemberi nasehat, berasal dari keturunan terhormat serta terkenal. Beliau juga seorang pemurah, ahli ibadah dan penakluk (pembebas).
Husaini Ibrahim mengutip catatan Hasan Ambary dalam Persebaran Kebudayaan Aceh di Indonesia disebutkan bahwa makam Sultan Malikus Saleh terbuat jenis batu andesit. Batu nisan ini, berukuran 0.70 meter tingginya dan dengan lebar 0,35 M. Batu nisan ini tampak sangat halus dengan bentuk pahatan yang rapi. Dalam inskripsi nisan juga terdapat pahatan ayat suci Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 22-25.
Dalam satu kompleks situs pemakaman ini juga terdapat pula makam Sultan Al-Malik Az-Zahir Muhammad atau lebih dikenal dengan Sultan Malikuzzahir. Beliau putra dari Sultan Malik Al-Shaleh yang memimpin kerajaan Samudera Pasai 1297-1326 Masehi. Sultan Malikus Zahir semasa hidupnya digelari Syamsyud dunya waddin (matahari dunia agama) karena pada saat pemerintahan beliau Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaan. Pada masanya juga mulai dibuat koin dari emas (deureuham/dirham) dengan plakat namanya.
Dalam inskripsi batu nisan Sultan Malikuz Zahir yang terbuat dari batu granit tertulis:
هذا قبر السعيد الشهير المرحوم الملك الظاهر شمش الدنيا والدين محمد بن الملك الصالح توفي ليلة الاحد الثاني عشر من شهى ذي الحجة السنة السادسة والعشرين والسبعة النبوية
“Hadza Qabr as-Said al-Syahid al-marhum as-Sultan al-Malik az-Zahir syamsu al-dunya wa al-din Muhammad bin Malik -Salih tuwuffiya laylat al-ahad at-tsani asyar min syahri dzi al-hijjat al-sanah al-sadisat wa al-isyri wa sab’a mi’at al-nabawiyyat”
Terjemah:
“Kubur ini kepunyaan tuan yang mulia yang syahid bernama Sultan Malik Az-Zahir cahaya dunia dan sinar agama Muhammad bin Malik al-Salih wafat pada malam ahad 12 Dzulhijjah tahun 726 H”
Di sisi utara jirat (batu nisan) Sultan Muhammad al-Malik Az-Zahir juga tertulis:
يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُمْ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُقِيمٌ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
َاللهم صل على محمد واله
“Tuhan menggembirakan mereka dengan rahmat, keridhaan dan surga, mereka gukekal di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, di sisi Allah terdapat pahala yang besar.” (QS. At-Taubah: 21-22) Ya Allah limpahkan shalawat ke atas Muhammad SAW dan keluarganya”
Jika Makam Sultan Malikus Saleh terbuat dari batu ndesit asli Aceh, maka jirat Sultan Muhammad al-Malik Az-Zahir terbuat dari batu granit yang banyak mengandung mikrolin yang menghasilkan warna hitam berkilat. Kemungkinan jirat ini dimpor dari India. Disini dapat disimpulkan bahwa Samudera Pasai telah memiliki koneksi yang cukup luas dengan negeri lainnya, selain itu juga dikarenakan posisinya yang terletak di Semenanjung Malaka yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan internasional.
Dalam Buku Melintasi Jejak Perjalanan Sejarah Aceh disebutkan bahwa Ibnu Batutah dalam Tuhfah An-Nazhzhar telah melafalkan nama Sumatera dengan Sumathrah. Penjelajah dan Sarjana asal Tangier (Thanjah) Maroko ini melukiskan kota itu sebagai kota besar yang indah, dikelilingi benteng dan menara-menara yang terbuat dari kayu. Dan yang dimaksud kota tersebut adalah Kerajaan Samudera Pasai yang saat itu dipimpin oleh Sultan Malik Az-Zahir bin Ahmad bin Muhammad bin Malik as-Saleh, Sultan keempat Kerajaan Samudera Pasai.
Husaini Ibrahim mengutip dari Muhammad Said dalam Atjeh Sepanjang Abad, disebutkan bahwa pada masa kejayaannya wilayah Kerajaan Samudera Pasai terletak pada dua sungai besar yang terdapat di pantai utara Aceh yaitu, Sungai Pengusangan dan Sungai Pasai. Bahkan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa wilayah kerajaan jauh lebih luas ke arah selatan sampai muara sungai Banyu Anyer.
Kesultanan Kerajaan Samudera Pasai berlangsung dari tahun 1267 Masehi sampai 1517 Masehi (250 tahun) terhitung dari Masa Sultan Malikus Saleh sampai Sultan Zainal Abidin IV. Dan berikut daftar Raja dan Ratu yang pernah memerintah Kerajaan Samudra Pasai yang terdiri dari Periode satu sampai tiga.
Periode I
- 1267 – 1297 Sultan Malik as-Saleh (Pendiri Samudra Pasai)
- 1297 – 1326 Sultan Al-Malik az-Zhahir I
- 1326 – 133… Sultan Ahmad
- 133… – 1349 Sultan Al-Malik azh-Zhahir II (Dikunjungi Ibnu Batutah)
- 1349 – 1406 Sultan Zainal Abidin I (Diserang Majapahit)
- 1406 – 1428 Ratu Nahrasyiyah
- 1428 – 1438 Sultan Zainal Abidin II (Digelari Ra-Ubabdar, Penakluk Badai)
- 1438 – 1462 Sultan Shalahuddin
- 1462 – 1464 Sultan Ahmad
- 1464 – 1466 Sultan Abu Zaid Ahmad III
- 1466 – 1466 Sultan Ahmad IV
- 1466 – 1468 Sultan Mahmud
- 1468 – 1474 Sultan Zainal Abidin
- 1474 – 1495 Sultan Muhammad Syah
- 1495 – 1495 Sultan Al-Kamil
- 1495 – 1506 Sultan Adlullah
- 1506 – 1507 Sultan Muhammad Syah III
- 1507 – 1509 Sultan Abdullah
- 1509 – 1514 Sultan Ahmad V
- 1514 – 1517 Sultan Zainal Abidin IV (Runtuh Diserang Portugis)
Pada bagian awal Hikayat Raja Pasai (HRP) disebutkan mengenai kedatangan Islam di Samudera Pasai seperti petikan dalam bahasa asal berikut:
“Al-kesah peri mengatakan cheriatera raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai; maka ada dicheritakan oleh orang yang empunya cherita ini. Negeri yang dibawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah”
Dalam HRP juga dikisahkan Kerajaan Samudera Pasai sempat diserang tentara Kerajaan Majapahit selama beberapa waktu, kemudian kembali ke Jawa dengan rampasan dan tawanan yang banyak. Sambil kembali ke Jawa, Majapahit juga menaklukkan Jambi dan Palembang. Selain HRP, kisah tentang Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, dan Kitab Bustanus Shalatin karya Syekh Nuruddin ar-Raniry, ulama besar asal India yang dikenal dengan Syekh Kuala.
Kerajaan Samudera Pasai yang telah bertahan lebih dari dua abad ini runtuh pada tahun 1517 setelah diserbu oleh Portugis (sekarang Portugal) yang sebelumnya telah menguasai Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Setelah itu, muncullah Kesultanan Baru yang berpusat di Kutaraja, Banda Aceh yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M) yang berjuluk Al-Ghazy fil Bahri Wal Barri (Sang Penakluk di Darat dan Lautan) karena keberanian dan kegigihannya dalam menyatukan rakyat Aceh yang sempat tercerai-berai. Kesultanan inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal Kesultanan Aceh Darussalam.
Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara memang disinyalir menjadi pusat Kesultanan Samudera Pasai. Hal ini dibuktikan dengan makam-makam raja atau ratu yang memerintah Kesultanan Samudera Pasai dimakamkan di sekitar kota kecil ini. Selain, Sultan Malikus Saleh dan Sultan Muhammad al-Malik Az-Zahir yang dimakamkan Gampong Beuringen. Sultan Zainal Abidin (wafat 1406), Malikah Nahrasyiyah (wafat 831 H/1428 M), Sultan Zainal Abidin Ra-Ubabdar (wafat 841 H/1438 M) dimakamkan di Gampong Kuta Krueng. Sedangkan Sultan-sultan yang masuk periode ketiga yakni dari Sultan Mahmud (wafat 872 H/1468 M) sampai Sultan Zainal Abidin IV (923 H/1517 M) dimakamkan Gampong Meunasah Meucat, Blang Me.
Makam Sultan Malikussaleh dan Malikus Zahir masih ramai dikunjungi warga baik lokal, nasional bahkan dunia. Kompleks makam ini dilengkapi dengan pagar setinggi satu meter. Makam Malikussaleh ramai dikunjungi warga baik lokal, nasional bahkan dunia. Hampir tiap bulan, ada kunjungan dari Malaysia, Filipina, Thailand, Brunai Darussalam dan warga negara lainnya. Tujuan pengunjung umumnya adalah melepaskan nazar, menggali sejarah Islam dan peusijuk.
Peusijuk adalah sebuah prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh yang masih dipraktikan hingga saat ini. Tradisi peusijuek atau Tradisi Tepung Tawar ini dilakukan pada hampir semua kegiatan adat dalam kehidupan masyarakat di Aceh. Seperti ketika memulai sebuah usaha, menyelesaikan persengketaan, terlepas atau selesai dari musibah, menempati rumah baru, memberangkatkan dan menyambut kedatangan haji, dan masih banyak lagi.
Selengkapnya tentang peusijuk bisa disimak di laman berikut
Setiap tahun masyarakat sekitar memperingati haul Sultan Malikus Saleh yang berlangsung setiap pertengahan bulan Ramadhan. Peringatan Haul diadakan dengan berbagai kegiatan seperti ziarah, pembacaan tahlil dan santunan yatim. Peringatan ini dimaksud untuk mendoakan seluruh keluarga kerajaan yang telah besar jasanya dalam menyebarkan islam di Tanah Rencong ini. Selain itu juga bermaksud untuk mengenang jasa mereka yang juga gigih dalam melawan kolonialisme. Dan nama Sultan Malikus Saleh saat ini diabadikan menjadi nama jalan, masjid di Aceh Utara, kampus di Lhokseumawe dan bandara di Aceh Utara
Berziarah ke Makam Ulama atau Umara’ bukan hanya ritualitas belaka, namun harus menjadi refleksi untuk mengenang perjuangan hidup, mereka. Dengan begitu kita akan termotivasi untuk melanjutkan estafet dakwah mereka dalam mensyiarkan Islam di persada Nusantara ini. Dan pada hakikatnya siapa saja yang telah meninggalkan dunia terlebih bagi mereka yang berjihad di jalan Allah akan tetap hidup di alam lain namun kita tidak merasakannya. Hal ini termaktub dalam firman Allah SWT:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ (سورة البقرة : ١٥٤)
“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. Al-Baqarah: 154)
Lhokseumawe, 14 Oktober 2018
Disarikan dari berbagai sumber dan penelusuran langsung
No responses yet