Alam pikiran manusia yang semakin “rasional”, “fungsional” dan “ilmiah” menuntut manusia untuk bekerja dalam pola yang lebih terukur. Dari sinilah kemudian lahir apa yang kita namakan “Ilmu Pengetahuan Alam”. Salah satu tonggak kelahirannya adalah munculnya teori heliosentris matahari sebagai pusat sistem solar) yang menjungkirkan keyakinan mitologi dan filosofi sebelumnya dimana bumi adalah pusat dari semesta alam (Geosentris) . Nicolas Copernicus (1473-1543) adalah astronom yang juga seorang matematikawan dan “dokter” yang pertama kali mengenalkan pandangan heliosentris ini dalam karyanya yang berjudul “De Revollutionibus Orbium Calestium” (Peredaran Alam Semesta). Teori ini kemudian dilanjutkan oleh “pendukungnya” Bruno (1548-1600) yang berpandangan bahwa semesta ini tak berbatas dan bintang-bintang tersebar dalam jagad semesta tersebut. Karena pandangannya yang kontroversial ini (saat itu Eropa sedang berada di zaman “kegelapan”), akhirnya dia dihukum dengan cara dibakar hidup-hidup, karena dianggap “kerasukan iblis”. Ahli lainnya yang mendukung teori heliosentris di era itu adalah Johanes Kepler dan Galileo. Teori ini lahir dari sebuah “tradisi” baru dalam “bernalar dan mengambil kesimpulan” melalui sebuah nalar induksi serta pengamatan dan eksperimentasi yang “berulang”. Inilah yang kemudian berkembang menjadi metode ilmiah.
Metode ilmiah dicirikan dengan langkah-langkah yang sistematis dan bertahap mulai dari menentukan; a. Batasan masalah. b.Merumuskan hipotesis. c. Menguji hipotesis. d. Merumuskan kesimpulan. Tahap pertama dan kedua (a dan b) adalah tahap “rasional” dan tahap ketiga (c) adalah tahap “empiris” dan tahap keempat (d) adalah tahap “reflektif”, yang melibatkan proses rasional dan empiris. Dari sinilah kemudian lahir sikap ilmiah yang harus mengutamakan prinsip; a. Kejujuran, b. Keterbukaan, c. Toleran, d. Kehati-hatian, e. Khusnudhon, f. Progresifitas, g. Kreatifitas. I. Objektivitas, j. Reflektif dan kritis. Dari tradisi inilah kemudian manusia mulai “berani” mempertanyakan “asal muasal alam semesta ini, termasuk asal muasal diri mereka. Salah satu pertanyaan “reflektif kritis” yang muncul dan mendapatkan banyak perhatian saat itu adalah “Bagaimana alam semesta raya ini “tercipta”?”
Sampai saat ini manusia masih hidup berdampingan dengan keyakinan “agama”, sekaligus keyakinan “ilmiah”. Meskipun sudah mendapatkan “gugatan” berkali-kali dari para pendukung sikap “Ilmiah”, tetapi keyakinan keagamaan tetap bertahan dan bahkan semakin kuat. Karena itu pula ada sebagian ahli yang kemudian mencoba “mempertemukan” keduanya dan menjauhi “ekstrimitas” perbedaannya. Karena itulah kita tidak bisa membincang wacana kemunculan semesta ini tanpa melibatkan keyakinan-keyakinan “keagamaan” yang hidup di masyarakat. Bahkan di Eropa terjadinya proses “rasionalisasi” Agama Nasrani diyakini sebagai salah satu penyebab lahirnya modernisme. Dalam kehidupan sosial ekonomi misalnya, pandangan-pandangan keagamaan “baru” yang lebih rasional, oleh Max Weber dikaitkan dengan “kesuksesan” seseorang atau suatu bangsa dalam mencapai tahap sebagai manusia atau bangsa yang “modern”. Karena watak rasional dari modernisme dan empirisme inilah, kemudian para ahli berpendapat bahwa keduanya adalah menjadi “conditio sin quanon” dalam proses lahirnya “peradaban maju” yang dicirikan dengan proses industrialisasi dan kapitalisme. Max Weber menyebut nilai-nilai keyakinan baru yang “rasional” ini dengan sebutan spirit “etika protestan”. Meskipun pada sisi lain proses ini pada ujungnya juga melahirkan masyarakat yang tidak lagi begitu tertarik pada ajaran dan keyakinan keagamaan.
Dalam pandangan keagamaan semesta raya ini adalah buah karya “penciptaan” kekuatan yang Maha Ghaib (Tuhan). Para ilmuan tidak puas dengan sebatas keyakinan keagamaan ini. Mereka terus menerus mencoba membuktikan bagaimana eksistensi Semesta Raya ini hadir dalam pikiran dan juga dalam sejarah perkembangan objektifnya. Dari sinilah kemudian lahir beberapa teori yang bersifat spekulatif meskipun didasarkan pada langkah-langkah yang empiris. Seperti teori Big Bang, teori “Keadaan Tetap”/Steady State, Teori Nebula/Kabut, Teori Bintang Kembar, teori black hole, teori plasma universe, sampai terori simulasi, yang menganalogikan kehidupan semesta raya ini layaknya sebuah “permainan” yang diciptakan dikendalikan oleh sebuah komputer. Teori-teori tersebut terus mengalami perkembangan dan pembaharuan secara terus menerus. Simulasi-simulasi komputasi terus dilakukan oleh para ahli. Meskipun ada juga para ahli yang menyatakan bahwa kecil sekali kemungkinan bagi manusia untuk bisa menciptakan super komputer yang bisa melakukan simulasi asal muasal kehidupan semesta raya dan manusia, serta bagaimana masa depannya. #SeriPaijo
Tawangsari 15 Oktober 2020
No responses yet