Khazanah karya intelektual ulama Nusantara memilki pengaruh yang besar terhadap perkembangan keilmuan dan pergerakan Islam di Nusantara dan juga dunia internasional. Hingga saat ini, karya-karya tersebut menjadi salah satu maraji’ yang sangat penting bagi para ulama dan juga para pelajar untuk memahami agama Islam. Juga karya-karya tersebut masih tetap dipelajari di berbagai lembaga pendidikan mulai dari pesantren, kampus dan lainnya.
Hal ini sesuai dengan tujuan penulisan para ulama Nusantara yaitu menulis adalah sarana untuk berdakwah membumikan dan memahamkan agama Islam kepada umat manusia.
Baca juga Resensi : Santri Cendekia, Kebangkitan Kelas Menengah Santri
Secara garis besarnya, karya-karya ulama Nusantara baik yang bermukim di Makkah atau Madinah ataupun mereka yang kembali ke Nusantara berfungsi sebagai: Pertama, Menjaga sanad keilmuan hingga Rasulullah Saw, Kedua, Menjaga Akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ketiga, Menjaga Madzhab Syafii dalam syariah, Keempat, wasilah penyebaran tarekat-tarekat sufiyah di Nusantara.
Menjaga Sanad Keilmuan Hingga Rasulullah Saw Diantara keistimewaan para ulama Nusantara adalah tersambungnya mata rantai ilmu (sanad) hingga sampai kepada Rasulullah saw. Hal ini terlihat jelas pada masing-masing biografi para ulama Nusantara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Terlebih salah satu syarat untuk mendapat izin mengajar (Syahadah al-Tadris) di Masjidil Haram adalah adanya sanad keilmuan yang mereka peroleh dari para ulama hingga tersambung kepada Rasulullah saw.
Sanad bagi para ulama adalah sesuatu yang sangat penting dan mulia. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Dailamy (w.509 H), bahwa Ibnu Umar mengatakan, “Ilmu adalah agama, shalat juga agama. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu itu, dan bagaimana melakukan shalat, sebab kalian akan ditanyai mengenai hal itu di hari kiamat”.
Hal yang sama juga disebut oleh Imam Muslim dalam permulaan Shahih Muslim, bahwa Ibnu Mubarak (w.181 H) mengatakan, “Isnad adalah bagian dari agama, kalau tidak ada Isnad niscaya orang akan asal berbicara semaunya”.
Imam Syafii juga menekankan pentingnya sanad, “bahwa orang yang mencari ilmu tanpa sanad maka ia seperti pencari kayu di malam hari yang di dalamnya ada ularnya, tapi ia tidak mengetahuinya.”
Berkata sebagian ulama, “Sanad bagi ulama seperti pedang bagi petarung, jika ia tidak punya pedang dengan apa ia bertarung?”. Juga dikatakan, bahwa sanad seperti tangga untuk sampai ke atas. Lebih dari itu, Imam Yahya bin Mu’in (w.333H) mengatakan, “Isnad ‘Ali (mata rantai ilmu yang tinggi) merupakan bentuk pendekatan kepada Allah dan Rasulullah saw”. (Syaikh Mahfuzh al-Tarmasi, Kifayah al-Mustafid, op.cit.,h.3-4)
Oleh karena pentingnya sanad tersebut, Imam Nawawi menjadikannya sebagai sesuatu yang harus dicari oleh seorang pengajar ataupun seorang murid. Karena seorang guru yang mengajarkan ilmu seperti seorang ayah dalam urusan agama, dan menjadi penyambung antara dirinya dengan Allah.
Jaringan keilmuan ulama Nusantara terlacak lewat sanad-sanad yang ditulis oleh mereka sendiri atau juga lewat buku-buku biografi tokoh arab dan kitab-kitab asanid yang ditulis oleh ulama-ulama Timur Tengah seperti Tasynif.
Mengenal Ulama-Ulama Dunia
Ternyata, ketika mendalami sejarah ulama-ulama nusantara, justru malah terbawa untuk mengenal ulama-ulama dunia (Makkah, Madinah, Yaman, Yabid, Damaskus, Mesir, Maroko, Tunis, Malaysia, Pattani, Indonesia, dan lainnya) yang memiliki jejaring ilmu satu sama lain dan terhubung dengan jelas baik biografi ataupun karya karya mereka dari abad ke abad, dari generasi ke generasi, dari sejarah ke sejarah, yang terekam dalam sanad-sanad keilmuan yang terdambung hingga Rasulullah saw.
Baca Buku “Kebangkitan Santri Cendekia” hlm. 165-166
No responses yet