Warisan KH Sholeh Darat: Sembilan Tangga Membangun Akhlak Peripurna
Syekh Sholeh Darat adalah ulama yang sezaman dengan Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Kholil Bangkalan. Beberapa karya yang mengupas tentang Syekh Sholeh Darat antara lain Muchoyyar HS, KH. Muhammad Saleh Darat al-Samarani, Studi Tafsir Fayd al- Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik al-Dayyan (Yogjakarta: Disertasi Program Paska Sarjana IAIN Sunan Kalijogo, 2000),; Ghazali Ghazali, Pemikiran Kalam Muhammad Saleh Darat al-Samarani (1820-1903) (Yogjakarta: Disertasi Program Paska Sarjana IAIN Sunan Kalijogo, 2007); Ghazali Ghazali, Warisan Intelektual Islam Jawa dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih Darat al-Samarani (Semarang: Wali Songo Press, 2008); Muslich Sabir, Laporan Hasil Penelitian, Studi Kitab Manhaj al-Atqiya‟, Suatu Upaya untuk Mengungkap Pemikiran Tasawuf KH. Saleh Darat (Semarang: IAIN Wali Songo, 2003); Abdullah Salim, al-Majmu’ah al- Shari’ah al-Kafiyah li al-Awwam Karya KH. Saleh Darat, Suatu Kajian terhadap Kitab Fikih Berbahasa Jawa Akhir Abad 19 M (Jakarta: Disertasi Program Paska Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995); Ali Mas’ud, Dinamika Sufisme Jawa: Studi tentang Pemikiran Tasawuf KH. Saleh Darat Semarang dalam Kitab Minhaj al-Atqiya’ (Surabaya: Disertasi Program Pascasarjana IAIAN Sunan Ampel Surabaya, 2011)
SYEKH SHOLEH DARAT adalah Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani, hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten, lahir di Kedung Cumpleng, Jepara pada tahun 1235 H./1820 M, dan wafat di Semarang pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H/ 18 Desember 1903 M.12 Ayahnya, Kiai Haji Umar merupakan salah satu penasihat Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Di antara kiai senior yang memiliki hubungan dekat dengannya adalah Kiai Hasan Bashari, Kiai Syada’13 dan Kiai Darda’ (dua orang prajurit Pangeran Diponegoro), Kiai Murtadha (mertuanya dan teman seperjuangan ayahnya ketika melawan Belanda), Kiai Jamsari (prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Solo dan pendiri Pondok pesantren Jamsaren, Surakarta).
Ia belajar kepada KH Syahid (Kiai Murtadlo), ulama besar keturunan Syekh Mutamakkin di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah yang juga menjadi guru Kiai Syuaib Sarang Rembang. Sesudah itu ia belajar kepada beberapa ulama, di antaranya adalah KH Muhammad Saleh bin Asnawi Kudus (ayah KHR Hambali, keturunan Syekh Mutamakkin), Kiai Haji Ishaq Damaran, Kiai Haji Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang), Kiai Haji Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan Kiai Haji Abdul Ghani Bima (Jajat 2012 : 194), Kiai Ahmad (Muhammad) Alim Basayban Bulus Gebang Purworejo, dan Kiai Asy’ari Kaliwungu Kendal.
Selanjutnya, ia pergi ke Mekkah dan berguru kepada Syekh Muhammad al-Muqri al Mishri al Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrowi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri dan Syekh Jamal (Mufti Madzhab Hanafi).
Beberapa sejarawan kurang tepat meletakkan Syekh Mahfudz Tremas sebagai guru Syekh Sholeh Darat. Syekh Mahfudz Tremas (lahir 1868) masih terbilang usia remaja ketika Syekh Sholeh Darat berada di Mekkah hingga tahun 1880. Syekh Sholeh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana, diantaranya Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Kiai Tholhah Cirebon, Kiai Abdul Jamil Cirebon, Kiai Khalil Bangkalan Madura dan Kiai Hadi Girikusumo. Kiai terakhir inilah yang menculiknya untuk pulang dari Mekkah.
Pada tahun 1880an, Syekh Sholeh Darat mendirikan pesantren di Darat Semarang sebagai basis penerjemahan Islam ke dalam konteks budaya Jawa. Ia juga telah mencetak ulama-ulama Jawa awal abad ke-20. Beberapa muridnya menjadi ulama terkenal dan turut andil dalam membangun jejaring dan institusi ulama. Mereka yang belajar di pesantren Kiai Khalil Bangkalan juga menjadi murid-muridnya. Diantaranya yang menjadi ulama tersohor adalah Syekh Mahfudz Tremas, KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Bisri Syamsuri (Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang), KH. Idris (Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), Kiai Dahlan Tremas (menantu), KH. Sya’ban bin Hasan (Ulama Ahli Falak di Semarang), KH Abdul Hamid Kendal, Kiai Dimyati Tremas, Kiai Basir Rembang, KH. Nahrawi Dalhar (Pendiri pondok pesantren Watucongol Muntilan, Magelang), KH Munawwir Krapyak, Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H, menantu Kiai Shaleh Darat), Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang, Kiai Abdul Hamid Kendal, Kiai Tahir (penerus pondok pesantren Mangkang Wetan Semarang), Kiai Sahli kauman Semarang, Kiai Khalil Rembang, Kiai Yasin Rembang, Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang, Kiai Abdus Shamad Surakarta, Kiai Yasir Areng Rembang, serta Raden Ajeng Kartini, yang menjadi simbol kebanggaan kaum wanita Indonesia (Salim 1994: 44-46).
Karya-karya Syekh Sholeh Darat antara lain Majmu’ah Asy-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-Awam, Al-Hakim (ilmu tasawuf merujuk kitab Hikam karya Syekh Ibnu Atho’ilah As-Sakandari), Kitab Munjiyat, (ilmu tasawuf, merujuk kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali), Kitab Batha’if At-Thaharah, Kitab Faidhir Rahman (tafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa), Kitab Manasik Al-Hajj, Kitab Ash-Shalah, Terjemahan Sabil Al-‘Abid ‘Ala Jauharah At-Tauhid, Mursyid Al-Wajiz, Minhaj Al-Atqiya’, Kitab Hadits Al-Mi’raj, Kitab Asrar As-Shalah.
Dalam beberapa karyanya, Syekh Sholeh Darat memang menampakkan kekagumannya terhadap kitab Ihya Ulumiddin dan al-Hikam karya Syekh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari. Bahkan, secara khusus beliau mensyarahi kitab al-Hikam ini dengan bahasa Jawa umum yang mudah dipahami orang awam. Syekh Sholeh dalam pengantar karyanya biasanya juga memberi penjelasan singkat mengapa kitabnya ditulis menggunakan bahasa Jawa setempat (atau yang ia sebut dengan al-Jawi al-Mirikiyah) alias bahasa Jawa ngoko, bahasa pasaran, bukan bahasa Jawa krama inggil ala Keraton yang lebih elitis.
Pilihan menggunakan bahasa Jawa pasaran ini agar karyanya bisa dinikmati oleh siapapun dan lebih mudah dipahami. Termasuk saat menulis beberapa kitab yang secara esensial diolah dari saripati Ihya Ulumiddin, seperti Munjiyat: Metik Saking Ihya Ulumiddin maupun karya lain seperi Lathaif al-Thaharah Wa Asrar al- Shalat. Sementara itu, kitab Majmu’at al-Syari’ah al-Kaifiyah li al-‘Awam merupakan kompilasi berbagai pembahasan seputar agama Islam, baik soal ushuluddin, fiqh, zakat, haji, dan sebagainya, Syekh Sholeh banyak merujuk pada kitab-kitab mu‘tabarah seperti Syarh al-Minhaj, al-Durar al-Bahiyyah karya Sayyid Bakri Syatha, dan Ihya Ulumiddin.
Syekh Sholeh Darat adalah ulama Jawa ternama pada abad ke-19 M yang menaruh minat kuat terhadap tasawuf sunni ortodoks. Selain memiliki minat kuat terhadap tasawuf sunni, ia juga inten mengkaji teologi, tafsir, fikih, dan sirah al-Nabawiyyah. Dari berbagai bidang kajian Islam yang digelutinya tersebut, Syekh Sholeh Darat juga dapat dipandang sebagai intelektual penting dari kutub Islam tradisionalis di Jawa. Untuk mendapatkan muqarabah dan mahabbah kepada Allah secara paripurna, maka seorang sufi (salik) harus menempuh sembilan tangga (al-maqamat), yaitu; menyesali dan tidak lagi melakukan dosa atau kemaksiatan yang sama (al-tawbah), menerima apa adanya (al-qana’ah), menjauhi kemewahan dunia (al-zuhd), menuntut ilmu (ta‟allum al-‟ilma), konsisten dengan pelaksanaan amalan-amalan sunnah (al- mulazamah bi al-sunnah), berserah diri (al-tawakkal), ikhlas, menghindari pergaulan yang dapat merusak untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan menjaga waktu (hifz al-awqat). Selain itu, seorang sufi diharuskan merambah tahapan syari‟at, tarekat dan hakekat secara simultan, karena ketiganya diibaratkan kapal, samudra dan intan yang saling berhubungan, yakni syari‟at sebagai kapalnya, tarekat adalah samudranya, dan intan yang berada didasar samudra merupakan hakekat.
Menurut Ali Mas’ud dalam disertasinya (2011), corak pemikiran tasawuf Syekh Sholeh Darat adalah tasawuf sunni ortodoks yang dibuktikan oleh konsistensinya dalam menghadirkan al-maqamat sebagai jalan pendakian menuju Tuhan, keselarasan aspek-aspek doktrinal tasawuf dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, penjagaan pelaksanaan syari’at secara ketat, pandangan kritisnya terhadap aspek-aspek doktrinal tasawuf falsafi, dan penyimpangan mistik Islam kejawen. Pemikiran tasawuf sunni ortodoks Syekh Sholeh Darat menjadi counter discourse terhadap teks-teks Islam kejawen yang sarat dengan tasawuf falsafi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam non santri di Jawa.
Bersambung ke bagian 2
No responses yet