Pagi sehabis sahur, tak sengaja buka-buka file menemukan buku kenangan pengajian Sahih Muslim Pondok Bustanul Arifin, Batokan, Kediri. Buku itu milik mertua yang terselip di rak buku milik istri.

Pondok Pesantren yang diasuh oleh Allah Yarham, Kiai Jamaludin Fadhil ( Mbah Jamal) tersebut memang dikenal masyhur sebagai pesantren untuk santri tingkat lanjut dan khusus jadi jujugan “ngaji kilatan” kitab-kitab babon dari berbagai cabang ilmu, seperti hadis, fikih, tafsir hingga tasawuf.

Hal yang menarik dari dokumen lawas itu, terdapat kata sambutan Kiai Jamal, di mana beliau menuliskan sanad keilmuan kitab hadis tersebut, yang dipelajari dan diajarkan kepada para santrinya itu sambung hingga Imam Muslim.

Dituliskan dalam kata sambutan, beliau mendapat ijazah “sima’an” mulai awal hingga akhir dari gurunya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari Tebuireng, beliau memperolehnya dari Syeikh Mahfuzh al-Tarmasi, dari Syeikh Abu Bakar Syatha, Dari Syeikh Ahmad Zaini dahlan dan seterusnya hingga Imam Muslim. 

Dalam tradisi keilmuan, khususnya di pesantren, sanad ilmu menjadi kelaziman dan hal mendasar yang harus diraih  sebagai bukti ketersambungan ilmu yang diperoleh dari sang pemilik ilmu. Karena itu menjadi keharusan seorang pelajar/santri belajar ilmu dengan perantara guru memiliki kemampuan dan kompetensi dalam mengajarkan ilmu tersebut dan otoritatif, dimana ilmu yang diperoleh telah mendapatkan legalitas, yakni sanad ketersambungan ilmu yang diajarkan sampai kepada pemilik atau pengarang kitab.

Seperti disebutkan dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan salah satu adab seorang pelajar atau santri adalah jangan sekali-kali mengambil ilmu dari buku tanpa guru. Sebab, lembaran kertas tidak bisa membimbing. Sementara guru akan membimbing jika bacaan seorang pelajar/santri yang keliru.

Belajar ilmu, terlebih ilmu agama secara otodidak tanpa perantara guru sangatlah berbahaya dan berisiko tersesat atau menyesatkan orang lain. Prilaku orang-orang seperti ini biasanya meremehkan otoritas ulama dan enggan belajar kepada ahli ilmu karena merasa cukup dengan belajar sendiri. Terlebih dengan perkembangan teknologi saat ini, semua orang bisa dengan mudah belajar melalui media daring tanpa perlu bimbingan guru. Akibat dari fenomena tersebut, banyak orang salah memahami agama karena fatwa agama dari orang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya dan tidak memiliki otoritas memberi fatwa agama.

 Kembali pada tradisi keilmuan di pesantren, faktor memilih guru sangatlah penting. Seseorang tidak bisa sembarangan dalam berguru ilmu, terlebih ilmu agama. Mengenai kriteria guru yang pantas direkomendasikan menurut Syeikh Zarnunji, pengarang kitab Ta’lim Muta’allim, adalah mereka yang terbukti kealimannya, bersifat wara’ dan lebih tua ( memiliki pengalaman belajar yang lama).

Lebih lanjut Syeikh Jarnunji menjelaskan, idealnya  seseorang bisa memperoleh ilmu dengan memenuhi kriteria enam hal, antara lain ; cerdas, tekun, sabar, punya bekal (biaya), selalu dalam petunjuk dan bimbingan guru, dan ditempuh dalam waktu yang lama.

Karena itu, sanad keilmuan di lembaga pendidikan pesantren telah menjadi bagian dari proses transfer ilmu, dimana guru atau kiai akan memberikan sanad keilmuannya kepada para santri yang sungguh-sungguh belajar sebagai bukti legalitas hingga sang santri punya otoritas mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain. Sanad keilmuan juga memberi jaminan keberkahan dan manfaat sebuah ilmu yang diajarkan, karena seseorang tidak akan sembarangan dalam memberikan fatwa atau nasehat agama di luar pakem yang telah diajarkan sang guru.

Lebih lanjut, buku kenangan dengan judul “Album Kenang-kenangan Pondok Pesantren Bustanul Arifin” tersebut juga memuat daftar nama santri yang mengikuti pengajian Sahih Muslim yang jumlahnya 183, lengkap dengan alamat asal. Dalam kata sambutan, buku kenangan teranggal 1 Ramadhan 1396/ 27 Agustus 1976 tersebut ditujukan untuk menambah ikatan ukhuwah Islamiyah antar santri yang mengikuti pengajian kitab Sahih Muslim yang diselenggarakan oleh Pengurus Bulan Romadlon periode 1976/1396 itu.

Dalam kitab Tsabat “Kifayah al-Mustafid“, Syeikh Mahfuzh al-Tarmasi, sang pengarang, bisa menjadi contoh terbaik bagaimana beliau dengan detail menuliskan seluruh sanad keilmuannya yang tersambung sampai sumbernya. Baginya, sanad  keilmuan  adalah  bagian  penting  dari  ajaran agama. Karena   tanpa   ketersambungan sanad keilmuan,   seseorang   akan   berhujjah, berfatwa   dan   berpendapat seenaknya dan hanya berdasarkan nafsu.

Lebih lanjut dalam sebuah riwayat disebutkan,  “Sanad merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak  ada  sanad,  pasti  seseorang  akan  berbicara  sesuai kemauannya.” (HR. Muslim)

Pesan tentang pentingnya sanad juga diingatkan oleh Imam Syafi’i,

 “Orang   yang   mencari   hadis   tanpa   sanad bagaikan  mencari  kayu  bakar  di  malam  hari,  ia  tidak  tahu kalau   ada   ular   di   dalam   tumpukan   kayu   itu.” 

Lebih lanjut Imam Nawawi    menambahkan,

“Bahwa    guru    yang    mengajari seseorang tentang sebuah ilmu itu bagaikan ayah, ia adalah mata   rantai   yang   menyambungkannya   dengan   Tuhan.”

Karena pentingnya mata rantai keilmuan dalam tradisi intelektual di kalangan pesantren, memiliki sanad keilmuan yang tersambung sampai kepada sumber ilmu menjadi jaminan keberkahan ilmu sekaligus menjadi pepiling, agar tidak sembarangan mengumbar ilmu sekadar untuk kepentingan dunia, follower dan pundi-pundi like atau subcrib semata.

Wallahu a”lam

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *