Salah satu santri Syekh Nawawi al Bantani di Banten adalah KH. Mas Abdurahman bin Kiai Mas Djamal Al-Djanakawi. Dilahirkan pada tahun 1868 di Kampung Janaka, tepatnya di lereng Gunung Haseupan di Distrik Labuan Kawedanan Caringin Kabupaten Pandeglang Banten. Ayahnya K. Mas Djamal Al Djanakawi adalah keturunan Mas Jong dan Agus Ju yang pergi meninggalkan istana Kesultanan masuk ke pedalaman di Lereng Gunung Haseupan tepatnya dusun Janaka untuk menyusun kembali kekuatan bergerilya melawan Belanda karena sejak berakhirnya kekuasaan Kesultanan Banten sebagai pusat dakwah Islam, Para ulama/kiai, guru agama yang semula bertugas secara resmi sabagai perangkat kesultanan, menjadi orang buronan yang selalu diawasi dan di kejar-kejar oleh pemerintahan Belanda.
Kiai Mas Abdurrahman pernah berguru kepada KH. Shahib di Kampung Kadupinang, KH. Ma’mun Serang, Kiai Asnawi Caringin, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Ia kembali dari Mekkah pada 1910 karena berdasarkan musyawarah di Kampung Kananga dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Sholeh serta ulama-ulama di sekitar Menes memanggilnya untuk segera berkiprah di masyarakat. KH. Tb. Mohammad Sholeh, mertua KH. Mas. Abdurrohman adalah sepupu Ratu Hj.Salamah, istri KH. Arsyad Tegal yang punya anak KH. Tb. Rusydi (menantu KH. E. Muhammad Yasin). Pada 10 Juli 1916 Mathla’ul Anwar (terbitnya cahaya) didirikan KH. Mas Abdurahman sebagai mudir atau direktur dan presidennya KH. Entol Mohammad Yasin dari Kampung Kaduhawuk (Menes) serta dibantu oleh sejumlah Kiai dan tokoh masyarakat sekitar Menes.
Para ulama dan kiai yang termasuk pendiri Mathla’ul Anwar selain KH. Mas Abdurahman, KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Sholeh juga diantaranya KH. Sulaeman, Kiai Arsyad Tegal, Kiai Daud, KH. Abdul Mukti, Kiai Syaifudin, Kiai Rusjdi, E. Dawawi, E. Djasudin, turut pula golongan muda seperti E. Ismail dan lain sebagainya. KH. Mas Abdurahman dan KH. Entol Mohammad Yasin merupakan “Dwi Tunggal”. Generasi dan murid-murid pertama yang menjadi pejuang dan penerus Mathla’ul Anwar antara lain KH. Mohammad Ra’is, KH. Abdul Latif, KH. Syafei, KH. Uwes Abubakar, KH. Syidik. KH. M. Yunan, KH.Hudori, KH. Achad Suhaemi, KH. Suhaemi, K.Tb. Achmad, KH. Moch. Ichsan
Kiai Mas Abdurrahman adalah teman seangkatan Syekh Hasyim Asy’ari Tebuireng Jawa Timur, sesama murid Syekh Nawawi Al-Bantani. Atas saran Syekh Kholil Bangkalan, sewaktu pendirian NU, dianjurkan mengundang para ulama di Indonesia, khususnya para ulama Alumni Syekh Nawawi Al-Bantani. Hal ini karena acara intinya akan memusyawarahkan bagaimana menyelamatkan kitab-Kitab Salafi khususnya, dan kitab-kitab Ahlus Sunnah wal jama’ah (ASWAJA) pada umumnya. Pada saat itu dari Banten hadir antara lain Kiai Mas Abdurrahman bin Jamal, yang kebetulan pada saat itu ia mewakili Lembaga Pendidikan Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Mathla’ul Anwar. Pertemuan tersebut memutuskan diantaranya sebagai berikut, membentuk dan mendirikan jam’iah Nahdlatul Ulama (NU), dan bagi yang sudah memiliki nama lembaga ditambahkan linahdlotil ‘ulama atau Jam’iah Nahdlatul ‘Ulama, seperti Jauharotun Naqiyah di Cibeber, Al-Khairiah di Citangkil, Nurul Falah di Petir dan Mathla’ul Anwar. Pembentukan NU dan penambahan nama Mathla’ul Anwar linahdlotil ‘ulama di pertanggungjawabkan kepada HB (HoofdBistir/Pengurus Besar) Mathla’ul Anwar di Menes. Pada muktamar NU di Malang ke 12 tahun 1937, KH. E. Muhammad Yasin yang diteruskan menantunya, KH. Tb. M. Rusydi bin KH. Tb. Arsyad di tunjuk untuk penyelenggaraan muktamar NU ke 13 tahun 1938 di Menes. Di antara ulama Mathlaul Anwar saat itu adalah KH. Sulaiman (orator ulama Banten), KH. Ma’mun Labuan, KH. Muniran Munjul, KH. Abbas Cibaliung, KH. Habri bin KH. Abdurrahman Bahrul ‘Ulum, KH. Ali Husen Mandalawangi, KH. Rd. Sugiri Mandalawangi, KH. Med dan KH. Gozali Petir Serang, KH. Halimi Ciherang. Ulama yang terakhir ini termasuk ulama kepercayaan KH. Tb. Rusydi yang pada tahun 1948 di tembak Belanda saat mengimami shalat subuh di Masjid Ciherang.
Pada masa revolusi kemerdekaan, antara tahun 1945-1950, para pimpinan, yaitu para kiai dan ulama Mathla’ul Anwar beserta segenap anggota ikut serta berjuang melawan dan menentang Belanda. Ada yang ikut berperang, memanggul senjata, sebagai tentara, dan yang menjadi Hizbullah dan anggota-anggota badan kelaskaran lainnya. Ada pula yang duduk dalam pemerintahan seperti Asisten Wedana (Camat). K.E. Ismail, Sekretaris Pengurus Besar Mathla’ul Anwar pertama periode 1936-1939, diangkat menjadi Wedana. KH. A. Sidiq, menjadi Asisten Wedana Menes dan lain sebagainya. Disamping itu ada pula beberapa putra Mathla’ul Anwar yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan bangsa. Di antaranya ialah Kiai Abeh Habrisalah, putra Kiai Mas Abdurrahman. Dalam kongresnya ke-6, yang diadakan di Menes tanggal 6-7 Mei 1947 sudah dihadiri oleh 67 cabang dan pada tahun 1947 MA sudah mempunyai 71 cabang dan mempunyai 167 madrasah yang tersebar di Seluruh Banten (Antara, 9 April 1947).
Pada saat NU melaksanakan muktamar di Palembang Sumatera Selatan pada 1952 tiga tokoh ‘ulama banten yang hadir KH. Amin Djasuta Serang, KH. Ayip Muhammad Dzuhri (menantu KH.Tb. Ahmad Khotib), dan KH. Uwes Abu Bakar yang saat itu juga menjadi ketua NU Banten. Salah satu hasil keputusan muktamar NU Palembang di antaranya NU menyatakan keluar dari partai Masyumi. Semua utusan Banten menerima dan menyetujuinya kecuali KH. Amin Djasuta yang menolak dan akhirnya ia pindah ke Jam’iatul Wasliyah yang berpusat di kota Medan. Namun, pada perkembangannya KH. Uwes Abu Bakar menghapus Linahdlotil ‘Ulama. Meskipun demikian, para ulama Menes ba’da Bahrul ‘Ulum yaitu KH. Abdul Latief Nanggorak Menes dan alumnus Al-azhar Mesir KH. M. Zunaedi bin KH. E. Muhammad Yasin tetap meneruskan Mathla’ul Anwar linadlotil ‘ulama dengan dukungan para ulama dan kiai yang tidak kurang dari 80%.
Sejak saat itu, KH. Uyeh Balukiya Syakir Syuja’i (Mama Uyeh) melanjutkan Mathlaul Anwar terlepas dari NU. Mama Uyeh lahir di Kampung Nenon Desa Sukawening Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung pada tanggal 22 Maret tahun 1926 dan wafat 3 Agustus tahun 2002. Ayahnya bernama KH. Ahmad Syuja’i merupakan seorang ulama dan pimpinan pesantren di Kampung Nenon Ciwidey. Ibunya, Mimih putri KH. Muhammad Tahqiq pesantren Palgenep Margahayu yang merupakan guru dari KH. Ahmad Syuja’i yang memiliki hubungan garis keturunan dengan Dalem Sukapura VIII dan Eyang Khotib Muwahhid (Panyalahan Pamijahan). Mama Uyeh pernah bergabung dengan barisan Sabilillah dan pasukan Hizbullah Batalyon III Divisi Sunan Gunung Jati yang bermarkas di Pesantren Babakan Padang. Pada tahun 1946 Uyeh berjuang bersama KH. Asep Syaroni (Ajengan Syaroni) yang menjadi komandan Batalion dan Uyeh Balukiya Syakir Syuja’i menjadi Kepala Staf. Pada tahun 1946 Uyeh Balukiya Syakir Syuja’i diangkat menjadi komandan Batalyon III/Divisi IV, selanjutnya dilantik menjadi Komandan Batalyon I/Siliwangi Brigade XIV bersama dengan Ajengan Syaroni. Pada tahun 1951 Uyeh Balukiya Syakir Syuja’i diangkat menjadi perwira dinas Agama yang kemudian disebut Corp Perwira Rohani Angkatan Darat (CPRAD) dan berubah menjadi Rohaniawan Kodam (ROHDAM). Dari sini juga Uyeh Balukiya Syakir Syuja’i bertemu dengan KH. Muhammad Hasan Armin (Ki Armin) yang mengajaknya untuk mempelajari Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dari Cibuntu Pandeglang Banten.
Perkenalan Mama Uyeh dengan Mathla’ul Anwar diawali sejak tugas kemiliterannya di wilayah Banten (Lebak-Pandeglang). Setelah berhenti dari militer, dakwah melalui organisasi (ormas) Islam Mathla’ul Anwar secara total dilakukan KH. Uyeh sehingga pada Kongres Mathla’ul Anwar VIII dilaksanakan di Ciampea Bogor pada tahun 1952, ia menjadi utusan dari Anwariyah Bandung. Pada waktu itulah, melalui kongres VIII telah diterima penggabungan Anwariyah dari Bandung untuk berfusi menjadi Mathla’ul Anwar di bawah pimpinan Ajengan Syaroni.
Sedangkan KH. Abdul Latif dan KH. M. Junaedi bin KH. E. Muhammad Yasin melanjutkan Mathla’ul Anwar linahdlotil ‘ulama (MALNU) dengan mengangkat Rois ‘Am KH. Tb. Abdul Mu’thi dan KH. Ihya (perintis kemerdekaan yang pernah di buang ke Digul Irian Jaya bersam KH. Tb. Ahmad Khotib), sedangkan ketua umum tanfiziyahnya KH. Tb. A. Ma’ani Rusydi bin KH. Tb. Rusydi bin KH. Tb. Arsyad. Para ulama inilah yang terus menyambungkan dan menghubungkan dengan jejaring ulama dan sanad keilmuan aswaja serta menjaga silaturahmi dengan ulama-ulama santri Syekh Nawawi dan penerusnya khususnya di derah Banten, seperti Abuya Dimyati.
Visi Mathla’ul Anwar Linahdlatil Ulama jelas dan tegas, ialah ASWAJA. Dinul islam ahlus sunnah wal jama’ah ‘ala madzahibil arba’ah, dengan pokok patokannya ialah: Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma dan Qiyas, dari sejak didekritkannya oleh baginda rasul: Taroktu fiikum amraini……. al- hadist.
Lewat wahyu Allah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, beliau dijaga oleh Allah lisannya, gerakan badaniahnya, perintah dan diamnya, adapun yang datang dari diri pribadi Baginda Rasul semuanya menjadi Dinul Islam dan Uswatun Hasanah. Lewat ‘ibadah, tegasnya tho’at dan taqwa kepada Allah dan Rasul, dan sekaligus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar di rumah, di kampung, di negri sendiri atau di tetangga Negeri atau di manapun yang terjangkau, melakukan ajakan untuk melakukan diri sesuai dengan fitrah insani, ialah Dinullah. Itulah visi dan misi Islam. Mudah dalam teori, akan tetapi sukar dalam pelaksanaannya, lebih-lebih diperlukan ikhlas.
MALNU mempunyai beberapa cabang utama, yaitu Pondok Pesantren Al-Mu’awanah, di Jl. Alun-alun Timur Menes, Pondok Pesantren Tahfizhul Quran, di Kebon Jeruk, Menes, dan Pondok Pesantren Fathul Ma’ani, di Kananga.
disarikan dari berbagai sumber
No responses yet