-
Bermalam di Kamar Mbah Hasyim Asy’ari Ketika Nyantri di Pondok Pesantren Hamdaniyyah, Siwalanpanji, Sidoarjo
Pada 10 April 2018 silam bisa jadi merupakan malam yang cukup bersejarah bagi penulis. Bagaimana tidak di malam tersebut kami mendapat kesempatan beristirahat di kamar yang sekilas dipandang cukup sederhana. Beratapkan genting, berdinding “gedek” dan beralaskan kayu tua yang mulai lapuk. Namun siapa sangka dibalik kesederhanaan itu ternyata menyimpan rahasia besar, dimana kamar yang terkesan sudah kurang layak huni ini, ternyata pernah ditempati seorang ulama’ besar yang mendirikan organisasi islam terbesar se-Nusantara, ulama yang bergelar Pahlawan Nasional karena gigihnya berjuang melawan penjajah yang terabadikan dalam Resolusi Jihad, ulama yang lahir dan melahirkan generasi penerus perjuangan islam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, beliaulah Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
Kesempatan emas ini kami dapatkan saat bersilaturrahmi ke Pondok Pesantren Hamdaniyyah, Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo pada hari Ahad, (8/4) silam. Pesantren yang telah berdiri sejak tahun 1787 ini memang dikenal sebagai kawah candradimuka para ulama nusantara, seperti KH. As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Salafiyah Syafiiyyah Sukorejo, Situbondo), KH. Ridwan Abdullah (Pembuat Logo NU), KH. Anwar (Pendiri Pondok Pesantren An-Nur, Bululawang, Malang), KH. Said (Pendiri Pondok Pesantren Agama Islam Ketapang Kepanjen), KH. Alwi Abdul Aziz (Pencetus Nama Nahdatul Ulama), KH. Wahid Hasyim (Ayahanda Gus Dur), KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Ali (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo) dan pejuang islam lainnya.
Setelah sempat sowan ke pengasuh pesantren KH. Hasyim Fakhrurozi yang ternyata masih ingat kepada kami meski hampir 2 tahun tak berjumpa, maka diskusi tentang babad sejarah pendirian dan perkembangan pesantren tertua kedua di jawa setelah Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan ini pun berlangsung gayeng. Namun karena suatu hal, akhirnya diskusi kami hentikan dan alumni Pondok Pesantren Ploso, Kediri ini mempersilahkan kami yang memang cukup lelah setelah menjalani rangkaian Santri Backpacker Tour Jawa (Malang-Bandung-Bogor-Tangerang Selatan-Depok-Jakarta-Kediri-Jombang-Banyuwangi-Jember-Surabaya-Sidoarjo) selama 10 hari ini untuk sekedar melepas penat dan beristirahat di kamar peninggalan KH. Hasyim Asy’ari ini yang berada di samping musholla pesantren yang masih utuh dan tetap dipertahankan sebagaimana awal berdirinya. Suatu hal yang patut disyukuri karena disana kami dapat mengenang perjalanan intelektual “Sang Kyai” di Pesantren yang didirikan oleh KH. Hamdani yang terkenal dengan wara’ dan zuhud ini.
Menurut Gus Hasyim sebagimana dikutip di laman nu.or.id, kamar ini dipertahankan hanyalah untuk mengenangnya, sang pendiri Nahdlatul Ulama di pesantren Al-Hamdaniyah itu yang pernah menyantri disini “Kamar KH Hasyim Asy’ari ini sengaja tak pernah dipugar, tetap seperti dahulu agar menjadi pelajaran bagi santri bahwa untuk menjadi tokoh besar tak harus dengan fasilitas mewah,”
Mbah Hasyim memang tercatat dalam sejarah pesantren memang pernah menyantri di pesantren Siwalanpanji ini sekitar tahun 1890-an di pesantren yang saat itu dipimpin oleh KH. Ya’qub. Dikisahkan bahwa Saat mondok, ulama kelahiran Demak, 10 April 1875 ini kerap menimba air sumur untuk mengisi tempat air wudlu saat malam. Ketika subuh, para santri yang lain tinggal menggunakan air tersebut untuk berwudlu.
’’Para santri yang merasa terbantu akhirnya mendoakan agar yang mengisi air hingga penuh ini diberkahi,’’ ujar Gus Hasyim sebagaimana dikutip dari laman jawapos.com
Jika ditelusuri tentang sejarah pengembaraan intelektualnya, Bapak 14 anak ini mulai “ngangsu kaweruh” dengan belajar dasar-dasar agama dari ayahnya (KH. Asy’ari) dan kakeknya (Kyai Utsman) yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Di usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren tanah air, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang asuhan KH. Soleh Darat, Pesantren Kademangan di Bangkalan asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan dan kemudian Pesantren Siwalanpanji di Sidoarjo sebelum akhirnya melanjutkan studi ke tanah suci.
Berkat kealiman dibarengi ketawadhuan Mbah Hasyim selama kurang lebih 5 tahun menyantri di Siwalanpanji, maka pengasuh pesantren mengangkatnya untuk menjadi menantu dengan menikahkan Kakek Gus Dur yang saat itu berusia 21 tahun ini dengan Nyai Khodijah binti Kyai Ya’qub. Namun sayang pernikahan tak berlangsung lama karena saat keduanya berangkat haji, Nyai Khodijah harus berpulang ke rahmatullah yang di saat bersamaan sedang mengandung anak pertamanya yang bernama Abdullah. Maka Mbah Hasyim pun harus melepas kepergian istri pertama yang kemudian disusul anak sulungnya yang sempat berusia 2 bulan itu dan dikebumikan di pemakanan di sekitar Makkah al-Mukarromah.
Setelah sempat bermukim 7 bulan di Makkah selepas kematian istrinya, beliau sempat pulang ke tanah air. Namun pada tahun 1893, Mbah Hasyim berangkat kembali ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah dan berguru kepada banyak Ulama’ yang begitu masyhur akan kealimannya, diantaranya: Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Turmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. 7 tahun lamanya beliau di Tanah Haram, maka setelah dirasa cukup bekal ilmunya, maka berpulanglah anak ketiga dari 11 bersaudara pasangan KH. Asy’ari dan Nyai Halimah ini kembali ke Tanah Air pada tahun 1899.
Sempat mengajar di Pesantren peninggalan kakeknya yakni Kyai Usman, Mbah Hasyim kemudian mendirikan pesantren baru di kawasan Cukir, Jombang yang dikemudian hari dikenal dengan Pondok Pesantren Tebuireng. Selanjutnya, pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 bersama KH. Wahab Hasbullah, dan kawan-kawannya di Siwalanpanji seperti KH. Alwi Abdul Aziz, KH. Ridwan Abdullah mendirikan Jami’yyah Nahdlatul Ulama’ sebagai wadah perjuangan kebangkitan ulama’. Perjuangan dakwahnya terus berlanjut baik lewat lisan maupun tulis, ini menghembuskan nafas terakhirnya di Jombang, pada tanggal 25 Juli 1947 4 Jumadil Awwal 1292 H bertepatan pada 7 Ramadhan 1366 H dalam usia 72 tahun dan dimakamkan di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
Begitulah riwayat singkat tentang sejarah pendidikan dan perjuangan Mbah Hasyim Asy’ari yang begitu besar dan sudah sepatutnya dikenang dan diteladani. Terlebih bagi al-faqir yang mendapatkan kenangan yang begitu berkesan ini, semoga inspirasi ini mampu menjadi pelecut semangat tuk mengabdikan diri pada umat lewat organisasi yang didirikan oleh Mbah Hasyim dan Ulama’ Nusantara lain, sebagaimana petuah sekaligus doa putra almaghfurlahu Kyai Asy’ari, Pendiri Pesantren Keras, Jombang ini:
“Siapa yang mau mengurusi NU, aku anggap sebagai santriku. Siapa yang jadi santriku, maka aku doakan husunul khatimah beserta keluarganya”
Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah, Siwalanpanji
Sepintas tak ada yang istimewa dari bangunan tua ini, tetapi dibalik kesederhanaannya tersimpan sebuah sejarah besar dimana pendiri Nahdatul Ulama, KH. Hasyim Asyari pernah menimba ilmu di pesantren yang didirikan pada tahun 1787 ini. Di bilik inilah Mbah Hasyim menyantri kepada KH. Ya’qub, putra KH. Hamdani Pendiri Pesantren selama 5 tahun sebelum dinikahkan dengan Ibu Nyai Khodijah, putri Kyai Ya’qub, sayang pernikahan tak berlangsung lama karena saat mengandung anak pertama istri tercinta dipanggil Allah di Makkah dan dimakamkan disana.
Pesantren ini didirikan oleh KH. Hamdani dikenal sebagai pribadi yang Zahid (tidak mementingkan urusan duniawi), ‘Abid (ahli ibadah), dan Waro’ (berhati-hati dalam segala hal). Beliau adalah putra Murroddani bin Sufyan bin Khasan Sanusi bin Sa’dulloh bin Sakaruddin bin Mbah Sholeh Semendi, Winongan Pasuruan.
Alkisah, Beliau hijrah dari Pasuruan dalam usia yang cukup tua ke suatu daerah sebelah timur laut kota Sidoarjo, suatu tempat yang pada waktu itu masih berupa perairan rawa-rawa, berbilang tahun beliau bermunajat kepada Alloh SWT seraya berharap limpahan Rahmat & Inayah-NYA, agar daerah tersebut kelak ditinggikan oleh Allah SWT dan menjadi Kawah Candradimuka dan Mercusuar Ilmu. Dan doa tulus dari kekasih-Nya dikabulkan dengan dengan lahirnya banyak ulama besar dari pesantren Siwalanpanji eperti KH As’ad Samsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Syafiiyyah, Sukorejo, Banyuputih, Situbondo), KH Ridwan Abdullah (Pencipta Lambang Nahdlatul Ulama), KH Alwi Abdul Aziz (Pencetus Nama Nahdlatul Ulama, KH Wahid Hasyim (Putra KH. Hasyim dan Ayahanda KH. Abdurrahman Wahid, KH. Anwar (Pendiri PP. An-Nur Bululawang), KH. Said Ketapang, dan lain-lain,” kata Pengasuh Ponpes Al-Hamdaniyah, M Hasyim Fahrurozi (36), Ahad(31/12).
Pada sekitar tahun 1870 M, Hadlrotus Syaikh Imam Nawawi mendirikan sebuah Pondok Pesantren Salafiyyah yang berasaskan Ahlussunah Wal Jamaah yang kemudian bernama Ponpes”Mahir Arriyadl”. Dalam memberi suri tauladan pada masyarakat Syaikh senantiasa mengedepankan sikap dan kpribadihan yang luhur. Dengan berbekal keeguhan hati, niat yang kuat serta tawakkal pada Allah SWT, Beliau memulai mewujudkan cita-cita yang luhurnya mendirikan pondok pesantren dengan membuka lahan di areal alas simpenan yang terkenal keangkerannya. Keadaan alas simpenan yang dipenuhi pohon-pohon besar mengharuskan Hadlrotus Syaikh Imam Nawawi melakukan penebangan hutan. Seiring dengan penebangan itu seringkali terjadi keanehan-keanehan, diantaranya banyak pohon yang telah ditebang kemudian dikeringkan namun tidak mempan dibakar. Keanehan lain yang membuat para santri heboh adalah adanya pohon beringin yang agung(besar sekali), meski ditebang berulang kali dan batang pohonnya telah putus, akan tetapi sulit untuk di tumbangkan.
Dengan adanya peristiwa itu akhirnya para santri yang ikut andil dalam penebangan alas simpenan bermusyawarah untuk mencari jalan keluarnya. Mereka akhirnya sepakat untuk memberitahukan kejadian tersebut kepada Hadlrotus Syaikh Imam Nawawi. Salah seorang dari mereka yang bernama Jailani dipercaya untuk menghadap Hadlrotus Syaikh sehubungan dengan kemisteriusan pohon beringin tersebut.Mendengar hal tersebut beliau memutuskan untuk meninjau langsung ketempat kejadian. Terjadinya peristiwa misterius itu tidak membuat hati beliau goyah dalam cita-cita menyiarkan dinul islam ditengah-tengah masyarakat. Beliau tidak pernah putus asa dalam menghadapi segala ujian dan cobaan. Maka Beliau bermunajat pada Allah SWT dan mohon diberi petunjuk. Akhirnya beliau mendapat ilham agar mengamalkan Sholawat Nabi yang berbunyi:
اللهمّ صلّ على محمّد وسلّم
Setelah mendapatkan ilham tersebut, maka Hadlrotus Syaikh mengajak seluruh santrinya untuk membaca membaca sholawat tersebut bersama-sama. Atas izin Allah pohon beringin tersebut akhirnya tumbang seketika. Dan untuk mempermudah berkumpulnya para santri dalam melakukan shalawat berjama’ah Beliau selanjutnya mendirikan sebuah masjid yang akhirnya dikenal dengan masjid Ringinagung.Sejak saat itulah Shalawat tersebut dikenal dimasyarakat dengan”Shalawat Ringinagung”.
Bangunan asrama santri berdinding anyaman bambu dan diberi jendela pada setiap kamarnya serta bangunan yang disangga dengan kaki-kaki beton, membuat asrama santri ini nampak seperti rumah Joglo. Bahkan ada beberapa asrama santri yang kondisinya sudah memprihatinkan. Namun, Pengasuh pondok masih mempertahankan keunikan pondok tertua di Jawa Timur ini seperti Kamar KH Hasyim Asy’ari ini sengaja tak pernah dipugar, tetap seperti dahulu agar menjadi pelajaran bagi santri bahwa untuk menjadi tokoh besar tak harus dengan fasilitas mewah,” tegas Gus Hasyim yang sewaktu nyantri di Ploso, Kediri pernah sekelas dengan Ustadz Abdul Wahid , Guru di Pondok Pesantren Al-Munawwariyyah, Malang.
Setiap asrama di pesantren ini dibagi dalam beberapa kamar yang diisi dua hingga tiga santri dengan ukuran ruangan 2×3 meter. Di dalam kamar kecil itulah, tempat para santri belajar dan beristirahrat.
Menurut riwayat, saat KH. Hamdani membangun Pondok, dia mendatangkan kayu dari daerah Cepu Jawa Tengah dengan dinaikkan perahu besar. Namun ditengah jalan perahunya pecah berantakan. Akan tetapi Allah dengan Kemaha kuasannya menghendaki kayu-kayu tersebut berjalan sendiri melewati sungai dan berhenti persis di depan area Pondok.
Selain mengajarkan berbagai ilmu agama, pondok ini pernah menjadi saksi sejarah perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Menjadi tempat pertemuan antara presiden Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo yang pada akhirnya melahirkan Laskar Hizbullah,”. Selain itu di Pondok ini, dulu juga sering dibuat pertemuan tokoh-tokoh Nasional pada Zaman Revolusi, diantaranya adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim, KH. Idham Cholid, Hamka, dan tokoh-tokoh besar lain. Bahkan Menurut Gus Hasyim, pesantren ini pernah terbakar sampai 2 kali akibat serangan Belanda.
Saat ini telah bermukim 200 santri putra putri dari berbagai penjuru tanah air dan berdiri SMP dan SMA untuk melengkapi pendidikan agama di pesantren. Pesantren ini bersebelahan dengan Pondok Pesantren Al-Khoziny yang cukup besar dan masih terjalin kekerabatan dengan Siwalanpanji, mengingat KH. Khozin sang pendiri adalah menantu dari KH. Ya’qub.
Semoga kita mampu meneladani serta meneruskan estafet perjuangan ulama dan menegakkan kalimah illahi di negeri tercinta ini. Karena yang menentukan masa depan suatu bangsa, adalah rakyatnya sendiri terlebih kaum santri yang telah bwgitu besar jasanya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini.
Keterangan :
- Disarikan dari berbagai sumber dan wawancara bersama dengan Pengasuh Pesantren, KH. Hasyim Fakhrurrozi dan berbagai sumber tambahan dari internet.
- Dokumen resmi pondok ini pernah ditulis oleh Gus Mannan, sepupu Gus Hasyim, hanya saat istikhoroh tidak menemukan jawaban pasti untuk dicetak dan disebarluaskan karena mungkin menjaga kewiraian pendiri pesantren yang lebih dikenal dengan santri-santrinya.
No responses yet