Kebanyakan geografi Mesir terletak di Afrika utara, walaupun semenanjung Sinai terletak di Asia Barat Daya. Negara ini mempunyai pesisiran pantai Laut Mediterranean (Laut Tengah) dan Laut Merah; ia berbatasan dengan Libya di barat, Sudan di selatan, dan Palestina dan Israel di timur. Mesir kuno terbagi kepada dua kerajaan, dikenal sebagai Mesir Hulu dan Hilir. Berlainan dengan kebiasaan, Mesir Hulu (Upper Egypt) terletak di selatan dan Mesir Hilir (Lower Egypt) di utara, dinamakan menurut aliran sungai Nil. Sungai mengalir ke utara dari  selatan  ke  Mediteranian,  dan  bukan  ke  arah  selatan  dari  utara.  Sungai  Nil,  yang merupakan tumpuan harapan penduduk negara tersebut telah menjadi sumber kehidupan bagi kebudayaan Mesir semenjak Naqada dan Zaman Batu.  

Sejarah politik modern di Mesir bermula dari timbulnya gerakan pembaharuan Islam, yaitu  Pemberontakan  Urabi  Pasya  yang  gagal  pada  tahun  1833  Masehi.  Kegagalan  ini merupakan satu malapetaka politik yang besar bagi Mesir. Peristiwa tersebut menimbulkan ketakutan  dan  kekecewaan  di  seluruh  pelosok  Mesir.  Oleh  karena  itu,  Mesir  dilanda pertikaian  di  segi  akhlak  dan  ideologi.  Orang  ramai  merasa  takut  bila  nama  gerakan pembaharuan atau politik disebut. Keadaan ini berlarut hingga permulaan abad 20 Masehi akhirnya sebuah kelompok pemuda Mesir telah memupuk kesadaran rakyat Mesir. Mereka melancarkan  gerakan  menentang  Inggris.  Kalangan  pemuda  ini  terbagi  ke  dalam  dua golongan. Golongan pertama memiliki semangat Islam dan golongan kedua menggunakan cara  yang  agak  baru  dan  berlainan.  Slogan  mereka  ialah  “Kebangsaan  Mesir”.  Dasa perjuangan kedua golongan ini bertentangan dengan golongan pertama yang berlandaskan nilai Islam serta bertentangan dengan  Kerajaan Turki Usmani.

Ada beberapa sebab munculnya nasionalisme Mesir. Munculnya gerakan Wahabi di Jazirah Arab yang menentang penjajahan Turki mampu mempersatukan rakyat Mesir. Apalagi rakyat Mesir memperoleh pengaruh dari Revolusi Perancis yang dibawa Napoleon Bonapart saat menduduki Mesir tahun 1798. Pemahaman liberal yang melanda Mesir menyebabka munculnya kelompok terpelajar yang berorientasi modern. Pada umumnya mereka pernah menempuh pendidikan di Eropa dan berbagai universitas terutama di Beirut dan Damaskus. Nasionalisme   Mesir   juga   terpengaruh   Gerakan   Turki   Muda.   Nilai   persatuan   yang diperjuangkan nasionalis Turki mampu menggugah semangat bangsa  Mesir  untuk bersatu. Apalagi  muncul  gerakan  Pan-Arab  yang  dipelopori  oleh  Amir   Syakib  Arselan  yang menganjurkan agar bangsa Arab bersatu dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.

Nasionalisme  Mesir  ditandai  oleh  munculnya  pemberontakan  Urabi  Pasha  (1881-1882) terhadap Inggris. Setelah Perang Dunia I, Mesir menuntut kemerdekaan dari Inggris. Akhirnya tahun 1922, Mesir menjadi kerajaan di bawah Persemakmuran Inggris. Tahun 1936, Mesir menjadi negara yang merdeka penuh. Selanjutnya, Terusan Suez dinasionalisasi Mesir kembali pada tahun 1956 oleh Gamal Abdunnasir. Lihat : Gerakan Nasionalisme Mesir 

Pranata Hukum dan Ideologi Negara

Dari segi sistem hukum, Mesir telah mengalami beberapa perkembangan yang terjadi pada tahun 1956 (Qanun No. 461 dan 462, tahun 1954-1955) telah berlaku perubahan yang agak besar dari segi perkembangan politik hukum Islam dan pengadilan agama, di mana pada tahun tersebut pengadilan agama (al-Mahakim asy-Syariyyah al-Juziyyah, al-Ibtidaiyyah, dan al-Ulya) dan mahkamah agama bagi orang bukan Islam (al-Mahakim al-Miliyyah) telah dihapuskan  (ilgha) dan  pihak  yang menangani  keduanya  dipindahkan  kepada  pengadilan negeri (mahakim al-ahliyyah atau al-wataniyyah). Undang-undang yang dilaksanakan di pengadilan agama, baik Islam maupun bukan Islam sesuai dengan hukum keluarga masing- masing umat beragama, kecuali undang-undang kewarisan, wasiat, wakaf yang telah dijadikan hukum positif. Dengan itu, jelaslah bahwa “Qanun al-Mawarits 1943” dan “Qanun al- Washiyyah 1946” telah dilaksanakan terhadap orang-orang Islam dan bukan Islam di Mesir.

Undang-undang tersebut di atas telah diterapkan di pengadilan negeri (Mahakim al-ahliyyah).  Walau  bagaimanapun,  secara  teknis  dan  prosedur  proses  memutuskan  perkara dengan menggunakan undang-undang ini dianggap masih tidak jelas. Hakim yang dilantik di pengadilan negeri adalah terdiri dari sarjana Fakultas Hukum dan bukan sarjana Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar. Hakim ini diberi pelatihan khusus di dalam bidang hukum Islam, sehingga taraf kemampuan mereka sebanding dengan bidang hukum perdata. Secara keseluruhan, ideologi negara adalah syariat Islam dan menjadi butir utama di dalam konstitus Mesir. Lihat : Kedudukan islam di dalam perlembagaan di beberapa negara islam: kajian di malaysia, indonesia, mesir, dan pakistan

Konstitusiolisme, Trias Politika, dan Kedaulatan

Di dalam perkembangan negara Mesir telah disebutkan sebelumnya bahwa agam esmi negara adalah Islam, bahasa Arab merupakan bahasa resmi, dan prinsip-prinsip syaria slam menjadi sumber utama undang-undang. Mengenai hukum Islam, kedudukannya tela ikukuhkan melalui amandemen konstitusi  pada tahun 1980,  dan  ditegaskan pula bahw yariat Islam merupakan sumber utama perundangan negara. Hal ini menampakkan kepad ita bahwa  negara tersebut  meletakkan  agama  Islam  pada  kedudukan  tertinggi  di  dalam Konstitusi Mesir. 

Pasal 2 dari Konstitusi Mesir adalah cukup penting, tidak hanya tergantung pada kata-kata yang terkandung di dalam teks tersebut, tetapi juga pada implikasi hukum yang diberika epada mereka. Kesan dari interpretasi tidak terbatas kepada Mesir saja. Malah, ia meluas ke negara  Arab  lainnya  di  sekitarnya.  Mesir  merupakan  perintis  yang berperan  menetapka sistem  undang-undang.  Ia  juga  berarti  Mesir  berpengalaman  dalam  perundangan  dan kehakiman. Mahkamah konstitusi agung negara Mesir telah memutuskan bahwa kewajiban yang mengikat untuk mendapatkan undang-undang dari prinsip syariah Islam untuk rujukan masa depan. Perundangan yang disahkan sebelum amandemen konstitusi Pasal 2 itu tidak akan dapat menandingi dasar konstitusional terhadap syariah Islam.

Adapun badan yang lain, seperti legislatif, kedudukan pembentukan undang-undang dasar ada di bawah kepemimpinan republik, yaitu pengesahan berdasarkan ketentuan di parlemen. Seterusnya badan pelaksanaan hukum ada di bawah kekuasaan badan eksekutif dan sistem pemerintahan di sana adalah perpaduan presidensial, yaitu kedudukan presiden sebagai kepala pemerintah tertinggi dalam mengatur semua urusan dengan mengikuti ketentuan undang-undang dasar. Meskipun Mesir sebuah negara Islam, tetapi campur tangan dari Barat dalam  pengaturan  politik  menyebabkan  struktur  administrasi  negara  tidak  lagi  di  bawah aturan syariat Islam sepenuhnya, tidak seperti negara Afrika Utara lainnya.

Sumber: Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Sejarah Islam Politik Modern, Jakarta: Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *