Catatan Singkat Diskusi Buku “Sains Religius Agama Saintifik”
Pada 9 Oktober 2020, hampir 4 jam, kami mendiskusikan buku terbaru karya Pak Haidar Bagir dan Mas Ulil Abshar. Buku yang berjudul “Sains Religius Agama Saintifik; Dua Jalan Mencari Kebenaran” (2020) itu nampak menyedot perhatian belasan mahasantri Ma’had Darus-Sunnah Ciputat. Mulai dari pemantik menyampaikan hasil bacaannya, hingga moderator mengatur sesi diskusi, semua peserta tak beranjak. Bahkan, diskusi semakin hidup, meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB. Karena ba’dha Shubuh, tiga jam lagi, peserta wajib ngaji halaqah kitab Bidayah al-Mujtahid dan Fawaid al-Janiyah, maka diskusi terpaksa dicukupkan.
Setidaknya ada tiga alasan, mengapa buku setebal 169 halaman ini menarik ditelaah. Pertama, dari satu bab ke bab berikutnya, kita akan disajikan dinamika pasang surut relasi agama, filsafat, dan sains. Baik dalam tradisi keilmuan masyarakat Barat ataupun Timur. Ragam tokoh pemikir dan karya penting masing-masing disajikan. Dalam konteks masyarakat Barat, filsafat dan sains merupakan produk era pencerahan. Keduanya merupakan jalan perlawanan terhadap doktrin agama yang dimonopoli oleh otoritas gereja. Karena itu, lebih bersifat antagonistik. Sebaliknya, bagi masyarakat muslim, filsafat dan sains yang pernah dikembangkan di era keemasan dinasti Umawiyah dan Abasyiah adalah produk perluasan doktrin agama.
Kedua, lembar perlembar buku ini menunjukkan adanya “emosi” kedua penulis terhadap para saintifisme yang sinis memandang agama. Ekstremisme ternyata tidak hanya menginggapi sebagian pemeluk agama saja, tetapi juga sebagian para saintifik. Penyebabnya hampir sama, yakni akutnya fanatisme. Para saintifik yang kurang “piknik” memahami agama dan filsafat, akan mudah menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan kebenaran adalah sains. Agama dan filsafat tidak lain adalah ilusi anak manusia yang belum tumbuh dewasa. Sebaliknya, agamawan dan filosof yang tidak mau mengenal sains juga menganggap sains sebagai bid’ah dan receh. Parsial dan dangkal.
Ketiga, buku ini menawarkan proyeksi reintegrasi agama, filsafat, dan sains. Reintegrasi ini bukan berarti mencampur adukkan ketiganya, semisal islamisasi sains. Namun lebih pada peneguhan dan pengakuan fungsi dan kelebihan masing-masing. Dimulai dari kemauan untuk saling menyimak dan memahami. Menimbang secara jernih titik beda dan titik temu. Tak sulit dipahami bahwa sumbangan sains bagi kehidupan anak manusia tidaklah terbilang. Demikian halnya agama dan filsafat. Keduanya dengan cara dan sumber yang berbeda telah memberi suluh pemaknaan hidup.
Dengan keinsafan ini, kita layak berharap untuk tidak lagi menghambur-hamburkan waktu untuk saling sinis dan cibir. Namun siap melangkah lebih maju lagi untuk menempatkan agama, filsafat, dan sains secara memadai. Memosisikan ketiganya untuk saling menopang dan melengkapi. Bukan membenturkan ataupun memberhalakan ketiganya.
Lantas tertarikkah anda?