Tarekat Nasqsyabandiah Muzhhariah (Ahmadiah) adalah salah satu cabang dari tarekat besar Naqsyabandiah yang diinisiasi oleh Syaikh Muhammad Muzhhar (w. 1301 H/1884 M), seorang ulama besar tasawuf asal Madinah. Tarekat ini mulai berkembang di Haramain, sebagai pusat spiritual dan intelektual dunia Islam, sejak abad ke-19 M.
Syaikh Muhammad Muzhhar memiliki tiga orang murid andalan. Ketiganya adalah ulama besar yang mengajar di Makkah, yaitu Syaikh Muhammad al-Makki, Syaikh Shalih b. Abdul Rahman al-Zawawi (w. 1890) dan Syaikh Abdul Hamid b. Husain al-Syarwani (w. 1884). Dari ketiganya, yang paling memiliki peran sental dalam sejarah kelanjutan dan perkembangan Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah adalah Syaikh Shalih al-Zawawi.
Sementara itu, sosok Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani, kawan dekat Syaikh Shalih al-Zawawi, lebih dominan dikenal sebagai sosok ulama besar fikih madzhab Syafi’i. Beliau mengarang kitab fikih yang sangat tebal dan besar, berjudul “Hasyiah al-Syarwani ‘ala Syarh Tuhfah al-Muhtaj”.
Di Nusantara, Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah ini berkembang juga melalui sosok Syaikh Shalih al-Zawawi, yang tentu saja dengan dibantu oleh kawannya Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani. Perkembangan ini menjadi lebih signifikan bukan hanya karena semata-mata kedua ulama ini memiliki banyak murid asal Nusantara, tetapi juga karena kedekatan Syaikh Shalih al-Zawawi dengan keluarga penguasa Kesultanan Riau Penyengat di Kepulauan Riau dan Kesultanan Pontianak di Borneo.
Syaikh Shalih al-Zawawi tercatat pernah mengunjungi Kesultanan Riau pada tahun 1883. Saat keberadaannya di Riau, beliau menjadikan kesultanan tersebut berafiliasi dengan Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah. Di Riau pula Syaikh Shalih al-Zawawi menulis sebuah karya mengenai tatacara dzikir Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah sekaligus genealogi intelektual dan transmisi keilmuannya.
Terkait kisah keberadaan Syaikh Shalih al-Zawawi di Riau dan kitab manual Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah yang dikarangnya di sana, sila baca artikel saya berjudul “Kitab Tarekat Naqsyabandiah-Ahmadiah Karangan Syaikh Muhammad Shâlih al-Zawâwî al-Makkî yang Ditulis di Kesultanan Riau (1300 H/1883 M)”
Pengaruh sosok Syaikh Shalih al-Zawawi juga begitu kuat di lingkungan Kesultanan Pontianak. Sultan-sultan Pontianak beserta keluarga dan ulamanya yang hidup sepanjang rentang tahun 1850–1900 terafiliasi dengan Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah yang dibawa oleh Syaikh Shalih al-Zawawi ini.
Kedekatan antara sosok Syaikh Shalih al-Zawawi dengan Kesultanan Pontianak ini juga tampak ketika keluarga kesultanan Pontianak mendaulat Syaikh Shalih al-Zawawi dan putranya, Syaikh Abdullah al-Zawawi, sebagai mentor bagi para pelajar Pontianak yang ada di Makkah. Dalam catatannya terkait komunitas Melayu-Pontianak yang bermukim di Makkah pada akhir abad 19 M, Snouck Hurgronje menyinggung pengaruh besar sosok Syaikh Shalih al-Zawawi dan putranya, Syaikh Abdullah al-Zawawi, terhadap komunitas tersebut. Snouck menulis:
إن سكان بونتياناك في مكة يخضعون لنفوذ عائلة الزواوي. وقد ذكرنا فيما سبق عالمين كريمين من هذه العائلة. وهؤلاء تلقى عليهم مسؤولية تعليم القادمين من موطنهم. حيث يقوم هؤلاء بتدريسهم باللغة الملايوية الى أن يتقنوا اللغة العربية. والزواوي الأكبر لا يسمح لأبناء جلدته بالدخول في الطريقة النقشبندية إلا إذا أحرز هؤلاء بعض المهارات في العلوم الشرعية والعربية. ويتلقى بعض أهالي بونتياناك بعض العلم من الشيخ مظهر في المدينة
(Para warga Pontianak di Makkah berada di bawah pengaruh kuat keluarga ulama al-Zawawi. Sebelumnya kami telah menyebut dua orang ulama besar yang berasal dari keluarga ini [yaitu Syaikh Shalih al-Zawawi dan putranya, Syaikh Abdullah b. Shalih al-Zawawi]. Keluarga al-Zawawi di Makkah mengemban amanah tanggung jawab untuk mendidik para pelajar yang datang dari Pontianak. Mereka mengajari dasar-dasar agama Islam dalam bahasa Melayu hingga para pelajar itu dapat menguasai bahasa Arab dengan baik. Syaikh Shalih al-Zawawi [al-Zawâwî al-Akbar] tidak akan mengizinkan para pelajar Pontianak untuk menjadi anggota Tarekat Naqsyabandiah [Muzhhariah] kecuali para pelajar itu terlebih dahulu memiliki dasar pengetahuan ilmu syari’at yang memadai dan juga menguasai bahasa Arab. Sebahagian pelajar Pontianak di Makkah juga tercatat ada yang belajar secara langsung kepada Syaikh Muhammad Muzhhar [sang inisiator Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah]).
Kedekatan hubungan antara keluarga ulama al-Zawawi di Makkah dengan keluarga Kesultanan Pontianak di Nusantara terus berlanjut pada sosok Syaikh Abdullah b. Shalih al-Zawawi (w. 1924), putra dari Syaikh Shalih al-Zawawi. Syaikh Abdullah al-Zawawi pernah tinggal lama di Pontianak (1894-1908) dan menjabat sebagai mufti kesultanan itu sepanjang tahun 1896 hingga 1908.
Selain Syaikh Abdullah al-Zawawi, terdapat ulama Makkah lainnya yang juga berhijrah ke Pontianak dan menjadi ulama besar kesultanan tersebut, yaitu Syaikh Mahmud b. Abdul Hamid al-Syarwani al-Daghastani al-Makki (w. 1896). Syaikh Mahmud b. Abdul Hamid al-Syarwani ini adalah sahabat dari Syaikh Abdullah al-Zawawi, juga putra dari Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani yang sosoknya telah disinggung di atas.
Sejak awal abad ke-20 M, terlebih setelah masa kemerdekaan, saya tidak mengetahui lagi hal ihwal perkembangan Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah di lingkungan keluarga keraton Kesultanan Pontianak.
Terkait kajian yang cukup mendalam atas perkembangan Tarekat Naqsyabandiah Muzhariah di Kesultanan Pontianak, kita bisa merujuk buku “Sejarah dan Eksistensi Tasawuf di Kalimantan Barat”.
———————————————-
Di antara murid Syaikh Shalih al-Zawawi adalah Syaikh Abdul Azhim al-Manduri yang berasal dari Madura (w. 1335 H/1917 M). Syaikh Abdul Azhim al-Manduri tercatat meriwayatkan Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah langsung dari Syaikh Shalih al-Zawawi dan juga dari Syaikh Abdul Karim al-Syarwani al-Makki (w. 1909).
Syaikh Abdul Azhim Madura ini juga terhitung sebagai salah satu guru dari Syaikhona Khalil Bangkalan Madura (w. 1925). Di antara generasi anak murid Syaikhona Kholil Bangkalan dan cucu murid Syaikh Abdul Azhim Madura adalah Syaikh Fathul Bari (w. 1960), ulama asal Madura yang menjadi pendakwh agama Islam di Borneo pada paruh pertama abad 20 M. Syaikh Fathul Bari wafat dan dan dimakamkan di Peniraman, Mempawah, Kalimantan Barat. Syaikh Fathul Bari juga masih terhitung sebagai buyut dari KH. Ma’ruf Khozin (Direktur Aswaja Center Jawa Timur).
Kisah keberadaan Syaikh Fathul Bari yang menjadi pendakwah Islam di Kalimantan Barat ini juga terkait erat dengan perintah gurunya, yaitu Syaikhona Khalil Bangkalan. Beliau memerintahkan muridnya itu untuk pergi menyeberang ke Kalimantan Barat dan mendakwahkan Islam di sana.
Syaikh Fathul Bari Peniraman ini juga menjadi mursyid dari Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah. Saya jadi berpikir, bahwa salah satu “alasan” ditugaskannya Syaikh Fathul Bari oleh Syaikhona Khalil Bangkalan untuk pergi mendakwahkan Islam di Kalimantan Barat, adalah karena “kesamaan” afiliasi tarekat Syaikh Fathul Bari dengan Kesultanan Pontianak, yaitu Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah.
Hingga saat ini, makam Syaikh Fathul Bari di Peniraman masih ramai dikunjungi oleh para peziarah. Haul kewafatannya juga ramai diperingati setiap tahunnya. Di antara murid dari Syaikh Fathul Bari yang mewarisi jalur Tarekat Naqsyabandiah Muzhhariah adalah Habib Muhsin al-Hinduwan Sumenep (ayah dari Habib Amin b. Muhsin Singkawang), Kiyai Bukhori Gondanglegi Malang, Kiyai Mahfuzh Malang dan putra beliau sendiri yaitu KH. Ismail Fathul Bari.
Wallahu A’lam
Jawa Barat, Rabi’ul Awwal 1442 Hijri
No responses yet