Empat belas tahun tinggal di Kartasura baru kali ini menyaksikan prosesi Nyadran, tradisi kirim doa menjelang bulan Ramadan. Doa bersama masyarakat luas yg diselenggarakan di pelataran Srimanganti bekas Karaton Kartasura Hadiningrat ini serasa punya aura beda
Paska Geger Pecinan dan runtuhnya keraton pada 1742, pusat kekuasaan Mataram kemudian dipindahkan dari Kartasura ke desa Sala dan resmi ditempati Pakubuwono II tahun 1745.
Demi mempertahankan sisa-sisa reruntuhan dalam benteng, sebagian lahan dalam benteng difungsikan sebagai tempat pemakaman agar memungkinkan petilasan itu tetap terjaga dan dihormati sebagai salahsatu situs bersejarah peninggalan Dinasti Mataram Islam.
Acara yg dihadiri pimpinan pemangku adat Kasunanan Surakarta, GKR Wandansari alias Gusti Moeng ini menjadi bukti, Karaton Kartasura memiliki posisi penting dalam sejarah Dinasti Mararam Islam hingga keberadaannya kini masih diwarisi oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, serta dua Kadipaten Mangkunegaran dan Pakuslaman.
Ada dua hal yg menjadi alasan saya hadir di majlis itu. Pertama, sebagai muslim dan warga Kartasura, saya ingin berkontribusi, setidaknya ambil bagian nguri2 kabudayan meski hanya “sebagai berikut.” Kedua, saya baru menyadari bahwa menurut silsilah nasab, saya termasuk grad ke delapan dari penguasa Mararam Kartasura, Susuhunan Amangkurat Jawi dari jalur putra beliau, KGPH Haryo Kartosuro alias BPH Sandeyo alias Kiai Nuriman ingkang sumare wonten kompleks pemakaman Masjid Mlangi, Yogyakarta.
Dua alasan ini memberi spirit baru bagi saya pentingnya menjadi bagian dari upaya melestarikan dan merawat peninggalan dari para pendahulu. Semoga semua amal baiknya diterima dan segala kesalahannya diampuni Allah swt.
Lahumul Fatihah ….
No responses yet