Di Pesantren, khususnya kalangan NU, ada sebuah tradisi yang jamak dilakukan oleh warganya. Bahkan, ini jadi ciri khas dan kebanggaannya. Yaitu, tradisi Salaman setelah shalat berjamaah.
Realitanya, tradisi Salaman setelah Shalat Jamaah seringkali “dinyinyirin” dan “dibulliy”, mulai dari yang ‘keras’, saklek, radikal, hingga yang kelihatan ilmiah. Lihat saja misalnya ungkapan berikut;
- Katanya; “Salaman setelah shalat jamaah itu hal yg baru alias bid’ah, sesat, karena tidak ada contohnya dari Nabi.” Wuih, ini terlalu saklek-radikal, krna banyak hal yg Nabi tidah mencontohkan dlm prilakunya, tetapi diamalkan dlm Islam, misalnya sj; Adzan dan Iqamat, Sholat Tahiyat Masjid, Haji lebih dari sekali, dan lain-lain. Berdasarkan kaidah/metode berfikir tersebut; Apa juga dihukumi sesat?
- Katanya; “Salaman setelah shalat jamaah itu mrupkan hal yang baru. Gak ada dalilnya. Namun, Ini boleh dilakukan untuk menghormati ajakan salaman org lain, khawatir menyakiti hatinya”Wah, dari mana, kok bisa menyimpulkan gak ada dalilnya? Sudah baca berapa kitab hadis? Kendati demikian, ini lebih mendingan, krna masih ada hati dan sambungrasa terhadap saudara seimannya, yaitu; “khawatir menyakiti hatinya”.
- Katanya; “Salaman setelah shalat berjamaah itu ada dalilnya, tetapi dalilnya umum. Walo demikian, yang lebih utama adalah tidak usah salaman setelah shalat berjamaah, karena Rasulullah hanya mencontohkan dzikir setelah shalat, dan ikutilah Al Quran Surah An Nisa ayat 103;
فَإِذَا قَضَیۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ ….
“Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), maka lakukanlah dzikir kpd Allah…”Ini lebih terlihat objektif dan ilmiah. Tetapi, di dalamnya tertera pola fikir saling mempertentangkan diantara dalil, lalu mengeleminasi prilaku yg tak disukainya dgn hanya memilih dalil yg dimauinya.
Begini penjelasannya, Salaman setelah Shalat jamaah itu pernah dilakukan oleh Rasulullah, sebagaimna diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitab hadis Shahih Al Bukhari dan ulama hadis lainnya;
عَنْ يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ. وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِه يَمْسَحُوْنَ بِهَا وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ
“Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk BERSALAMAN DENGAN Rasulullah, lalu dgn bekas salaman itu mereka (ambil keberkahan dgn) mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Rasulullah, lalu saya usapkan ke wajah saya.”
Jadi, asalkan salaman itu tidak dilakukan di dalam rangkaian shalat, maka salaman tersebut adalah amal shalih dan berpahala. Mengingat juga hadis sahih yg semakna; Rasulullah bersabda;
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah” (H.R. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan lainnya).
Lalu, bagaimana dengan dalil lainnya, seperti surah An Nisa’ ayat 103 di atas, dan juga banyak hadis tentang dzikir setelah shalat, misalnya saja hadis sahih riwayat Imam Muslim dlm kitab Sahihnya;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Dari Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam: Barangsiapa yang bertasbih selesai sholat 33 kali dan bertahmid 33 kali dan bertakbir 33 kali, itu adalah 99, dan disempurnakan menjadi 100 dengan (ucapan) Laa Ilaaha Illallaahu wahdahu laa syariika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir, akan diampuni dosa-dosanya meski sebanyak buih di lautan.
Nah, Bagaimana ini….?
Jawabannya adalah; kita mengikuti kaidah ulama yg disepakati dari dulu hingga sekarang, yaitu;
إِعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا مَا أَمْكَنَ
Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunya selama masih memungkinkan.
Bahkan, Imam Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari menyatakan;
الجمع أولى من الترجيح، باتفاق أهل الأصول
Mengkompromikan (al-jam’u) dua dalil atau lebih (yg nampaknya berbenturan), itu lebih diutamakan daripada memilih salahsatunya dan mengeleminasi yg lainnya (at tarjih). Kaidah ini disepakati oleh ulama hukum Islam.
Maka, berdasarkan pada pola fikir kompromi dan mengambil kedua-duanya, didapati ijtihad berfikir;
Salaman setelah shalat itu ada dalilnya, begitu pula setelah shalat itu melakukan dzikir juga ada dalilnya. Ini bisa DIAMALKAN SEKALIGUS, Yakni; Setelah shalat berjamaah, maka dilakukan dzikir dgn hati dan lisan, dan tangan kananya bersalaman dgn orang di samping kanan-kirinya. Pahalanya berlipat, krna amal salihnya jga makin banyak. Enaak thooo.
Lagian, dzikir juga bisa dilakukan dgn berbagai sikap/posisi laku, asal tetap menjaga etika dan kekhusyuan. Sebagaimna Al Quran surah An Nisa ayat 103 ajarkan, (bila tidak dipotong, maka jadi);
فَإِذَا قَضَیۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِیَامࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), maka lakukan dzikir kpd Allah, (boleh dgn sikap) kamu berdiri, (boleh juga dgn sikap) duduk dan (boleh juga dgn sikap) berbaring.
Maka boleh juga, berdzikir dgn duduk dan sambil salaman.
Lebih daripada itu, dalam konteks Indonesia, salaman sesama lelaki bila bertemu dekat scr fisik dalam sebuah momentum, adalah tradisi kuat dan mendalam dlm hati sanubari. Tak terkecuali, momen shalat berjamaah, dimna terdapat kontak sentuhan fisik saat shalat, maka setelah shalat jamaah mereka saling bersalaman.
Ini seyogyanya dirawat, bukan malah dilawan. Ini seyogyanya dilestarikan, bukannya malah dipertentangkan. Lalu malahan dipakai hantam-hantaman sesama umat Islam, ini keliru.
Al-Quran mengajarkan;
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Suruhlah orang mengerjakan yang Al-‘Urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili dlm kitabnya Ushulul Fiqh berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ“
Yang realistis, maksud dari al-‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu Tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.”
Lalu, Imam Ibnu Muflih al Maqdisi dalam Al Adab Asy Syar’iyyah wa al Minah al Mar’iyyah mengajarkan;
لا ينبغي الخروج عن عادة الناس إلا في الحرام
Tidaklah dianggap bijak, yaitu; perbuatan keluar dari tradisi manusia pada umumnya, kecuali dalam hal yang jelas keharamannya.
Dan, Salaman setelah shalat jamaah adalah tradisi masyarakat yang sangat mengakar. Ini dilandasi oleh Sunnah Nabi yang Sahih, sehingga terbilang amal shalih yg berpahala. Apakah amal ini layak dimusuhi, lalu dijauhi????
No responses yet