Categories:

Fenomena Gus Baha menegaskan kesimpulan bahwa perguruan tinggi Islam hampir tidak pernah berhasil mencetak para para ahli agama Islam (maksudnya ulama, bukan pengamat. Jika ada profesor keislaman atau lulusan perguruan tinggi Islam yang moncer, itu hampir selalu punya back-ground pendidikan pesantren di masa mudanya.

Saya sempat ngefans dengan UAS karena dia menandai dunia dakwah baru, tidak harus ganteng/cantik sebagaimana kemauan produser TV. Lalu keilmuannya sangat oke. Jadi ustadz baru yang mau tampil harus berpikir ulang sejauh mana kemampuan keilmuannya. Namun UAS tetaplah orang kampus, dan bangga memasang gelas LC MA di belakang namanya.

Gus Baha ini murni belajar di pesantren. (Kalau ada yang sempat nguping cara belajar Gus Baha’ mohon dishare). Khasanah kitabnya luar biasa. (Beberapa orang kampus bahkan mungkin hanya mengenal kitab-kitab itu dari para peneliti barat yang memang tidak bermaksud mengkaji isinya secara detil, hanya untuk mengamati).

Argumen-argumen dakwah Gus Baha juga sangat keren dan bersumber dari literatur yang dikaji di pesantren. Misalnya, sekarang ini kampus Islam (entah apa yang merasukimu) sangat mengidolakan tema-tema pluralisme dan hubungan antara agama, namun mereka mengandalkan kutipan teori-teori barat.

Kepada para spesialis tafsir di kampus kemarin, Gus Baha mengenalkan “faslun fi saddi dzarai’is syarr” dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an yang turun dengan maksud spesifik tapi diambil pesan substansinya untuk menghindari kemudharatan. Ini tentang larangan mencaci tuhan berhala ketika itu: Kalau kamu mencela tuhan agama lain, maka tuhanmu akan dicela juga; kalau umat Islam mayoritas mengganggu penganut minoritas, maka jauh di sana umat Islam ninoritas akan diganggu juga; dan seterusnya. Jadi menghormati agama lain itu bukan kesyirikan, ada dasar argumen naqlinya.

Artinya menjadi alumni pesantren saja juga keren dalam bingkai NKRI yang berkemajuan. Tak perlu santri bersusah payah membuang-buang waktu dan biaya untuk menyesuaikan diri dengan aturan dan cara belajar kampus (pakai metodologi yang antah berantah), meninggalkan pesantren padahal ngajinya belum kelar. Apalagi sekarang ada UU No 18 tahun 2019 Tentang Pesantren. Kalau memang maunya ingin memeperdalam ilmu-ilmu agama Islam, cukup di pesantren, tak perlu ke kampus. Ijazah pesantren sekarang juga bisa buat melamar jadi staf khusus milenial 🙂  

Tapi alumni pesantren juga tidak perlu GR. Masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem pesantren. Lulusan pesantren yang biasa-biasa saja juga banyak. Kalau ada santri yang gengsi kuliah tinggi tapi tetap keren seperti gus Hamzah Sahal itu pasti jam terbang ngaji lakonnya berbeda dengan santri biasa.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *