Oleh: Umam Hudaya

BUKU yang begitu kaya ilmu bagaikan sampah di rumah orang kaya. Buku yang dianggap sumber ilmu berserakan bagaikan sampah dimana-mana. Kamus Bahasa Inggris Satu Triliyun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bahas Tuntas Kisi-kisi, Panduan Sukses UN, Fokus UN tersebar di kamar yang begitu mewah. Lampu menyala di atas meja, buku-buku terbuka dengan lebar-lebar. Berbagai ilmu terus masuk ke anak laki-laki yang sedang mengendalikan penanya. Kertas putih yang suci dipenuhi dengan coretan-coretan hitam. Huruf dan angka terus memenuhi kertas-kertas yang telah ditata menjadi sebuah buku.

Satuan fonem dibangun menjadi sebuah morfem. Satuan morfem dibangun menjadi kata. Satuan kata dibangun menjadi frasa. Satuan farasa dibangun menjadi klausa. Satuan klausa dibangun menjadi sebuah kalimat. Kalimat-kalimat yang dianggap penting, terus mengisi buku merah yang terus menahan sakit oleh tekanan yang diberikan pena. Badannya terus terisi oleh satuan-satuan kalimat yang terdiri angka dan huruf.

Orang-orang Kibumian sudah mulai masuk kedalam mimpi-mimpinya. Suara yang bising di jalan raya lenyap dengan seketika. Matanya terlihat lelah membaca satuan kalimat-kalimat yang telah menjadi buku. Alfun menjatuhkan kepalanya diatas buku-buku yang masih terbuka lebar. Penanya jatuh ke lantai dengan tarikan gravitasi bumi yang begitu kuat.

Ujian tinggal menyisakan 3 hari. Siswa SMP 1 Kibumian terus dipaksa menerima materi yang telah disampaikan oleh guru. Materi dengan begitu banyaknya terus di transfer ke anak didiknya. Siswa tiba-tiba banyak yang sakit kepala. Obat bodrek menjadi barang berharga untuk menahan sakit kepala yang terus di transfer rumus-rumus matematika. Memori terus bertambah, rumus fisika, kimia terus memasuki kepala yang sedang berputar-putar. Dukun dipenuhi siswa-siswa yang ingin lulus tanpa belajar. Kepala yang terus berputar membuat siswa harus membakar buku dicampur air lalu diminumnya. Tak ada hasil, tetap saja rumus matematika tak mampu masuk ke otaknya.

Alfun terus dibimbing oleh guru lesnya. Maklum anak orang kaya untuk membayar guru les sangat kecil. Semangat belajar selalu memenuhi jiwanya, setiap hari hanya membaca dan membuat catatan-catatan kecil. Catatan-catatan yang selalu menemaninya dimana pun ia berada. Catatan-catatan yang selalu mengingatkan rumus-rumus matematika. Catatan-catatan yang mengingatkan Asam dan Basa. Catatan-catatan yang mengingatkan majas-majas. Catatan-catatan yang mengingatkan Kamus Bahasa Inggris Satu Tryliun. Catatan-catatan yang mengingatkan masa kecilnya saat masih di desa. Catatan-catatan yang mengingatkan teman lamanya.

Pukul 16.00 Laki-laki sekitar umur 30 tahun terlihat memasuki rumah yang sangat besar. Tangannya membawa buku yang tebal, kalau dibaca mungkin selesainya bisa satu minggu. Laki-laki itu adalah guru matematika SMA 1 Kibumian yang diminta ayahnya untuk memberi les. Bunyi bel berbunyi “Ting-tong…,Ting-tong…,Ting-tong”. Pintu terbuka lebar-lebar.

“Assalamu’alaikum, Mas Alfun”

“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk Pak Harfan ” Sambil tersenyum.

“Iya terima kasih, Ayah lagi di rumah tidak Mas Alfun?”

“Tidak di rumah Pak, lagi ada rapat di luar kota” Sambil berjalan masuk, Suara pintu kembali tertutup.

“Oo…, Sudah berapa lama di luar kota?”

“Sekitar satu minggu Pak”

“Semoga cepat selesai tugasnya”

“Iya Pak, Silahkan duduk”

“Rumus-rumus Logaritma sudah bisa dipahami belum?”

“Sebenarnya kemarin sudah bisa paham Pak, tapi setelah satu hari pahamnya lenyap seketika  Pak” Tangannya sambil menggaruk-garuk rambutnya.

“Hadeehhh” Kepalanya digerakan kekanan dan kekiri.

“Rumusnya bisa memutarkan bumi ini Pak, saat membaca” Ucap Alfun.

“Bagaimana bisa? Itukan  bukan membahas Astronomi”

“Entahhh…”

“Ujian tinggal berapa hari?”

“3 hari lagi Pak”

“Materi yang sudah paham kira-kira sudah persen Al?”

“Hmm…,Mungkin 10% lebih Pak”

“Hah! Dari dulu baru 10%” Sambil terkejut dengan dahsyatnya.

“Kan 10% lebih Pak, bisa jadi 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90% atau mungkin sudah 100% Pak” Sambil tertawa.

“Bisa aja kamu Al”

“Hanya bercanda Pak”

“Ini ada soal-soal yang mungkin besok bisa keluar di Ujian Nasional” Sambil mengajukan bukunya”

“Tebal banget Pak, kan Ujian tinggal 3 hari lagi”

“Semakin tebal buku maka semakin lengkap ilmu yang ada di dalamnya” ucap Pak Harfan dengan bijaknya.

                        Suara Adzan Ashar mulai terdengar di Kota Kibumian. Orang-orang mulai meninggalkan aktivitasnya. Cuaca yang panas mulai berubah menjadi dingin. Matahari mulai menutup diri. Pak Harfan membawa mobilnya meninggalkan rumah putih yang berlantai tiga.

                        A’an satu sekolahan dengan Alfun. Mereka saling bersaing sejak pertama masuk SMP 1 Kibumian. Persaingan yang sangat seimbang diantara mereka. Mempunyai semangat yang sama diantara keduanya. Kekayaan orang tua nya yang hampir seimbang. Saat A’an mendapat nilai ulangan matematika 100, pasti Alfun mendapatkan nilai 100. Selalu masuk kelas yang diunggulkan membuat keduanya semakin kutu buku. Selalu berebut ranking 1 di kelasnya ataupun di sekolahnya. Dari kelas satu sampai tiga pasti mereka berdua yang ranking 1 dan 2. Ujian ini adalah penentuan diantara mereka siapa yang mendapat penghargaan mendapat posisi 1. Kemampuan mereka sangat seimbang.

                        Kedua anak itu juga bersaing untuk bisa masuk SMA 1 Kibumian, sekolah yang diimpikan bagi siswa yang ada di Kibumian bahkan siswa yang ada diluar kota. Bisa masuk sekolah yang sangat bersaing, dapat membuat bangga keluarganya. Sekolah juga ikut bangga. Bahkan guru dapat di anggap menjadi pengajar baik apabila anak didiknya bisa masuk sekolah yang terletak di sebelah Alun-alun Kibumian.

                        Saat pembelajaran berlangsung mereka selalu berebut untuk duduk di kursi yang paling depan dengan papan tulis. Saat pembelejaran berlangsung pasti selalu menjadi perdebatan diantara mereka. A’an bertanya, Alfun juga langsung ikut bertanya. Alfun mengeluarkan pendapat, A’an juga langsung mengeluarkan pendapat. Kelas yang berisi 30 siswa itu terasa hanya ada 2 siswa yang mengikuti pembelajaran. 28 siswa yang lain hanya dapat memandang mereka berdua saling bersaing. Persaingan yang sangat menguras tenaga, pikiran, emosi, terus berlanjut.

                        Mereka saling bersaing tapi diantara mereka memiliki perbedaan dalam tujuan hidupnya. Perbedaannya dapat dilihat dari cita-cita yang ada di dalam hatinya. Alfun tidak pernah memberi tahu cita-cita nya kesiapapun begitu pun dengan A’an tidak pernah bercerita cita-cita nya. Persaingan mereka seperti perang dingin yang terjadi setelah Perang Dunia II antara Amerika dengan Rusia. Diam-diam sangat mematikan. Menggunakan berbagai cara untuk bisa memenangkan persaingan. Taktik dan strategi selalu dikeluarkan secara cepat dan tepat. Persaingan untuk menunjukan menjadi yang nomor satu terus berlanjut.

                        Persekutuan di kelas pun terjadi, memicu terbentuknya Blok Timur dan Blok Barat. Blok Timur dipimpin oleh A’an dan Blok Barat dipimpin oleh Alfun. Siswa yang terdiri dari 30 siswa terpecah menjadi dua. Mereka belajar kelompok dan berdiskusi masing-masing. Politik mulai diterapkan mereka saling menjatuhkan dan saling berebut. Tak ada yang bisa menghentikan. Blok Barat lebih diunggulkan karena dipenuhi oleh siswa-siswi yang lebih pintar. Guru tidak ada yang tahu kalau di kelasnya terjadi perpecahan menjadi dua. Perang semakin berkembang. Suasana semakin panas. Saling mengintai. Senjata taktik dan strategi terus dilancarkan. Suasana semakin tegang. Keadaan tidak bisa dikendalikan. Perbedaan pendapat, cara berpikir membuat perang semakin melebar luas. Persaingan menyebabkan perdebatan. Dari mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila, Ilmu Pengetahuan Alam selalu terjadi perdebatan antara Blok Barat dan Blok Timur.

                        A’an belajar siang-malam dengan tidak mengenal waktu yang terus berubah. Alfun terus menjadi kutu buku dan menjadi penulis yang handal dengan mencatat-catat angka demi angka dan huruf demi huruf. Satuan angka dan huruf terus dirangkai menjadi panjang. Tidak ada waktu untuk kedua anak laki-laki itu untuk tidak membaca dan menulis.

                        Ujian Nasional tinggal menyisakan satu hari, hari yang dianggap sangat menakutkan bagi siswa SMP 1 Kibumian. Murid semakin tegang, semakin risau, pikiran semakin kacau, dan perasaan menakutkan mulai muncul. Guru sudah mulai lelah mentransfer ilmunya. Lelah memberikan rumus-rumus Matematika. Lelah memberikan bacaan soal Bahasa Indonesia. Lelah memberikan materi fisika, lelah memberikan materi kimia, zat asam dan basa. Lelah menyuruh murid-muridnya menghafal kosakata Bahasa Inggris 1 Triliyun kata. Lelah selalu berceramah di depan papan tulis. Lelah memberikan masukan siswa.

Bacaan surat Yasin dan doa terdengar di SMP 1 Kibumian. Semua Orang Tua dan siswa dikumpulkan. Acara yang rutin dilakukan sebelum H-1 sebelum ujian berlangsung. Motivasi terus di sampaikan oleh pembicara. Kepala sekolah menuntut untuk anak didiknya dapat lulus seluruhnya. Siswa-siswi meminta maaf kepada kedua orang tua nya. Suara tangisan terus semakin keras mengikuti puisi yang terus-menerus terdengar.

Ibu, Sang Malaikat Ku

Ibu…

Di kertas putih ini ku tulis namamu

Tak pernah lelah kau terus mendoakan anakmu

Lelah tak pernah menjadi alasanmu untuk melangkah

Tetesan air dari tubuhmu, menjadikan bukti kesungguhanmu

Ibu…

Kau bagaikan malaikat bagi anak-anakmu

                        Usiamu dihabiskan untuk merawat anak-anakmu

                        Tak ku harap tubuhmu semakin layu

                        Engkaulah malaikatku

                        Ibu…

                        Hanya tetesan air mata yang dapat ku berikan untukmu

                        Hanya sedikit kebaktian yang dapat ku berikan untukmu, Ibu

                        Harapan yang ingin terus disampingmu

                        Hanya itu yang dapat ku lakukan untukmu

                                                                                                                        UH

Tangisan tiba-tiba terhenti, terdengar ayat-ayat suci yang terdengar sangat indah. Suara yang dapat menyejukkan hati.         Suasana berubah menjadi tenang. Orang-orang mulai meninggalkan ruangan yang cukup mengharukan. Sekolah berubah menjadi tak berpenghuni. Siswa dengan teganya meninggalkan tempat yang sudah memberikannya ilmu. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Waktu sudah mulai menunjukan perubahannya. Tak terasa H-1 Ujian Nasional telah usai. Saatnya hari-hari yang menakutkan bagi siswa dimulai. Empat hari yang sangat menakutkan akan segera berlangsung di SMP 1 Kibumian.

Hari yang sangat menentukan masa depan. Hari yang sangat menentukan hasil selama tiga tahun menuntut ilmu. Hari yang sangat menentukan keberhasilan guru dalam mendidik muridnya. Hari yang sangat menentukan kualitas sekolah. Hari penentuan persaingan A’an dan Alfun. Hari berakhirnya Blok Barat dan Blok Timur. Terasa hari besok adalah hari yang sangat krusial bagi kedua Blok. Semua strategi dan taktik sudah dikeluarkan dengan terencana, terstruktur, dan sistematis.

H-1 menjadi terasa sangat cepat bagi A’an dan terasa sangat lambat bagi Alfun. A’an yang berharap lebih banyak lagi waktu untuk lebih mendalami materi yang telah dipelajari. Dan Alfun yang berharap lebih cepat untuk hari esok, karena ia sangat penasaran ingin mengerjakan soal-soal yang dianggap menakutkan. Mereka selalu bertolak belakang dalam berbagai hal, tidak ada yang tahu kenapa selalu berbeda. Perbedaan itu yang membuatnya bersaing, saling berdebat, saling berbeda pandangan, saling mengalahkan, saling menjatuhkan, dan saling ingin menjadi yang nomor satu.

Malam terakhir belajar telah tiba. A’an sibuk dengan mengingat kembali rumus-rumus matematika. Alfun melihat jadwal ujian yang satu minggu lalu telah dibagikan.

Hari pertama              : Matematika

Hari kedua                  : Bahasa Indonesia

Hari ketiga                  : Bahasa Inggris

Hari keempat              : Ilmu Pengetahuan Alam

            Matematika menjadi ujian dihari pertama, murid berharap-harap cemas untuk menyambutnya. Transferan ilmu yang diberikan guru terasa belum cukup untuk menghadapi Ujian Nasional. Materi-materi yang sudah diajarkan masih banyak yang terasa belum masuk kepala. Semakin banyak yang masuk semakin pusing. Obat bodrek hanya bisa menahan pusing selama satu jam. Pergi ke dukun terasa belum meyakinkan. Tak ada solusi yang ada jalan buntu, unuk menghadapi Ujian Nasional. Alfun begitu penasaran dengan soal-soal dari Kemendikbud. Matanya tak dapat menutup bola matanya.

                        “Kring-kring…,kring-kring…,kring-kring…,”Lonceng tiba-tiba berbunyi. Murid berhamburan masuk untuk  bertempur menghadapi soal-soal Matematika. Terasa mau perang, suasana tegang menyelimuti seluruh SMP yang ada di Indonesia. Soal yang bikin otak terus berputar-putar. Soal yang bikin jantung berdebar, takdapat di rem. Soal yang selalu bikin beban kehidupan. Soal yang selalu menghantui. Kini ada di depan mata.

                        A’an dengan tenangnya melingkari huruf-huruf yang ada dilembar jawabnya. Alfun dengan cepatnya menghitung angka-angka dengan rumus yang diberikan Pak Harfan. Sesekali mereka saling memandang. Saingan masih berlangsung dengan ketat. Tak ada celah, tak ada ruang, tak ada kesempatan yang terbuang dengan sia-sia. Dari Blok Timur Zikri dan Suminto menyiapkan arisan. Dengan berharap kertas yang keluar memberikan jawaban yang benar. Blok Barat Bahdarudin dan Suripto mengeluarkan kertas yang berisi ajian dari dukun Gunung Wirit. Mantra terus dibaca sambil mengerjakan soal pythagoras.

                        Pengawas hanya tersenyum dan menggerakkan kepalnya kekanan dan kekiri. Melihat Zikri dan Suminto melakukan arisan ibu-ibu. Dan semakin tertawa keras setelah melihat Bahrudin dan Suripto membaca mantra-mantra dari Gunung Wirit. Suasana semakin tegang setelah mendengar waktu kurang 15 menit.

                        Umam mengerjakan dengan begitu cepat, secepat kilat. Berbeda dengan SMP 1 Kibumian, di sini terlihat sangat serius. Ruangan yang hanya diisi dengan sepuluh siswa, 6siswa laki-laki dan 4 siswa perempuan. Penjagaan yang begitu ketat. Felix keluar meninggalkan ruangan dengan begitu gagahnya. Ia dapat menyelesaiakn soal-soal dengan begitu cepat dan ia dinobatkan menjadi yang pertama keluar ruangan diantara ribuan siswa yang tersebar di Kibumian.

                        Alfun melingkari kertas jawaban untuk yang terakhir. Soal Matematika ia libas tak tersisa. Empat puluh lingkaran hitam terlihat dikertas yang dipegangnya. Sebatang pensil terletak di atas meja yang penuh coret-coretan usil. Soal masih terbuka dengan penuh. Ia kembali meneliti jawabannya dengan cermat, teliti, soal persoal ia baca ulang.

Zikiri dan Suminto terlihat masih sibuk dengan arisannya, saat yang keluar dua nomor dia pusing untuk memilihya. Waktu sudah semakin mepet, ia menggunakan jurus yang kedua. Ia menggunakan jurus ilmu tebak-tebakan, dengan cara yang kedua ini mereka berdua berhasil menyelesaikan soal-soal. Berbeda dengan Bahrudin dan Suripto mereka masih membaca mantra yang diperoleh dari Gunung Wirit. Semakin cepat mengamalkan mantra semakin cepat mereka berdua menyelesaikan soal. Mulutnya terus berucap mengikuti mantra yang tertulis di lembaran kertas.

Mantra Gurinyap

“Nyap gurinyap mangap-mangap”

“Mangaka semangka enak-enak”

“Matematika enak penak”

“Seang penteng yeakin bener”

“oraa susah wedi-wedi”

“Aja lali ngko wengi upah kudu diweii”

“Tak enteni ngko wengi nang gunung wirit”

“Kudu nyiapno duittt”

            Semakin waktu mau habis Bahrudin dan Suripto semakin cepat mengamalkan mantra yang diperoleh dari dari Gunung Wirit. Mereka berdua merasa berhasil dengan bantuan mantra yang diperoleh dari dukun. Lembar jawab tertata rapih diatas meja yang berkaki empat. Meja-meja kembali tertata dengan rapih. A’an dan Alfun mulai meninggalkan tempat duduknya. Terasa masih panas diantara mereka. Pengawas masih merapikan setumpuk kertas  yang ditangannya.

            Hari kedua, Ketiga, Keempat terjadi seperti hari pertama tak ada yang berubah. Jurus Arisan Ibu-ibu yang masih dipakai Zikri dan Suminto. Jurus Mantra yang diperoleh dari Gunung Wirit masih dipakai oleh Bahrudin dan Suripto. Mantra yang dianggap sangat ampuh untuk menghadapi soal-soal menakutkan matematika. A’an dan Alfun yang tetap mengerjakan soal-soal secara teliti dan cermat. Persaingan mereka panas tak ada perubahan dari hari pertama Ujian Nasional.

            Empat hari yang menjadikan momok telah usai, Persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur semakin reda. Tak ada yang perlu diperdebatkan diantara kedua blok. Tak ada lagi materi yang harus diperdebatkan karena ujian telah berakhir. Tak ada strategi dan taktik yang terus dilancarkan karena sudah tidak ada pembelajaran.

            Kemenangan belum dapat diketahui, mereka masih mempunyai kekuatan yang sama-sama besar. Waktu terus memutarkan arah jarum jam. Mereka lelah menunggu. Terasa lama menunggu hasil kemanangan antara Blok Barat dan Blok Timur. Pengumuman akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Anggota Blok Barat dan Blok Timur semakin tegang melihat perkembangan yang terjadi.

            Umam menunggu hasil Ujian Nasional dengan membaca buku yang ia peroleh dari orang-orang yang mendonasikan buku ke kampung. Buku di kampung nya terlihat sangat berharga, karena susah untuk mendapatkan. Kampung Bongkol merupakan kampung pelosok dari Kota Kibumian.

            Tak terasa tujuh hari setelah hari yang sangat krusial telah usai. Tiba saat hari yang sangat mendebarkan antara A’an dan Alfun. Antara Blok Barat dan Blok Timur. Persaingan yang sangat ketat. Strategi telah digunakan. Taktik telah dikerahkan. Waktu telah digunakan secara maksimal. Jatuh menjatuhkan telah usai.

            Perpisahan sudah berjalan satu jam yang lalu, acara sambut-sambutan,  hiburan, pembacaan ayat suci Alquran, telah usai. Acara inti segera dimulai, acara yang ditunggu, acara yang dapat mendebarkan, acara yang menyakitkan, acara yang membuat Orang Tua cemas, acara yang menjadi tolak ukur guru pengajar yang berkelas, Acara penentu persaingan A’an dan Alfun, acara penentu penguasa Blok Barat dan Blok Timur.

            Kepala sekolah membawa kakinya menaiki panggung. Suasana semakin panas-panas cemas. Semakin mencekam. Semua orang terasa tak bisa bernafas, mata tak berkedip, mulut tak dapat mengeluarkan kata-kata. Badan berubah mengalami penurunan suhu menjadi dingin. Kaki bergetar dengan dahsyatnya. Kepala sekolah mulai membacakan siswa-siswi yang mendapat ranking .

            SMP 1 Bongkol telah usai menggelar perpisahan kelas. Umam dengan bangganya menaiki panggung dengan memperoleh predikat siswa terbaik. Ibunya mengeluarkan air mata sederas sungai kelam. Sujud syukur ia lakukan di atas panggung yang terlihat sederhana. Panggung yang hanya dapat berisi tiga orang. Panggung yang hanya terbuat dari tatanan kayu tanpa atap. Panggung yang terletak dilapangan sekolah. Menjadi panggung kebahagiaannya.

            Siswa yang dinobatkan sebagai  penyelesai ujian tercepat di Kibumian mendapat ranking sepuluh. Bapaknya sangat bangga mendengar hal itu, anaknya bisa masuk sepuluh besar. Felix ikut bangga melihat bapaknya yang  tersenyum bangga. Padahal ia mendapat ranking sepuluh karena jumlah seluruh siswa SMP 1 Bongkol hanya 10 siswa. Orang di sekitar hanya bisa tertawa melihat kelakuan Felix dan Bapaknya.

            Kepala sekolah mulai mengucapkan nama-nama dari kertas yang ia pegang. Tertulis ada lima nama siswa yang mendapat nilai-nilai tertinggi. Ia baca mulai dari peringkat lima ke peringkat 1. Hujan deras menghantam Kota Kibumian. Awan sangat gelap menutupi matahari secepat angin. Suara petir terdengar keras diatas panggung tempat kepala sekolah berdiri. Kepala sekolah tersungkur ke lantai badannya kaku tak dapat bergerak. Orang-orang berlarian membawa laki-laki yang tersungkur itu ke Rumah Sakit. Struk nya kambuh setelah lima tahun berlalu tak diingatnya.

Panggung itu berubah menjadi sepi semua orang –orang meninggalkan tempat yang begitu megah. Air terus berjatuhan dari langit dengan begitu deras. Siang berubah seketika menjadi gelap. Acara yang belum selesai ditinggalkan dengan acuhnya. Tak ada yang peduli.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *