Ramadhan selalu mengingatkan kepada masa kecil, masa-masa ketika cita-cita ilmu mulai bertunas dan tumbuh. Berkaitan dengan bulan Ramadhan, sejak masih kecil saya sudah melaksanakan Shalat Tarawih 20 Rakaat. Saya tidak tahu persis kapan itu dimulai dan dengan sebab apa. Hampir setiap mesjid dan mushalla di kampung saya mengerjakan Shalat Tarawih 8 rakaat, yang saat itu dikerjakan dengan 4 kali salam. Hanya beberapa mesjid dan surau yang mengerjakan shalat 20 rakaat, itupun yang masih dipengaruhi oleh sisa-sisa kejayaan pesantren terkenal di kampung itu, yang sekarang sudah tinggal nama saja. 

Saya pernah bertanya kepada mendiang kakek tentang amalan Tarawih di kampung dulu. Ia jawab, dulu semuanya 20 rakaat. Kakek saya lahir 1921 wafat 2014. Satu ketika pertanyaan itu saya lontarkan kepada guru saya, Tuanku Mudo Baliau Rasyid Zaini, ulama lokal yang cukup disegani di kampung saya. Jawabannya sama. Guru saya lahir 1916 dan wafat 2008. Tentang sejarah, jelas mana amalan yang secara masyhur dipakai di masa-masa silam. Sejarah ini kemudian saya baca pula dalam manuskrip-manuskrip yang saya temui belakangan.

Ketika sudah agak baligh, saya beransur-ansur memahami bahwa Tarawih 20 rakaat ialah ittifaq (kesepakatan) ulama-ulama dari 4 mazhab fiqih, yang tentunya ittifaq ini setelah menggali dalil-dalil tentang Tarawih itu. Hanya terdapat satu ikhtilaf saja, yaitu kalangan Malikiyah, ada yang mengamalkan Tarawih lebih dari 30 rakaat. Kenyataan itu dapat dilihat dengan uraian yang memadai dalam kitab-kitab fiqih lintas mazhab, dari salaf sampai khalaf. 

Kemudian saya mendapatkan informasi bahwa Shalat 8 itu dikemukakan oleh muta’akhirin, di antaranya Albani, dengan menyandarkan kepada Hadits Aisyah. Saya cukup heran, barangkali karena dangkalnya ilmu. Mengapa Hadits Aisyah kemudian menjadi dalil Tarawih, padahal tidak ada didengar atau dibaca ada ulama-ulama dari masa salaf yang memakai hadits tersebut untuk Tarawih, kecuali hanya sebagai acuan Shalat Witir, sebab witir itu 11 rakaat jumlah maksimalnya. Sementara ulama menilai Hadits Aisyah itu ialah ihtimal. Wallahu a’lam.

Saya menginisiasikan diri sebagai Syafi’iyyah, pengikut Mazhab Syafi’i, dan saya selalu berusaha untuk beramal dengan mazhab ini, dan berusaha juga untuk TAQLID penuh padanya. Begitu juga dalam amalan Tarawih. Teringat pula kita akan kisah di masa kuliah dulu, saat dimana idealisme bergelora. Masa itu sebagian hari-hari Ramadhan dipakai untuk kuliah. Malam harinya ketika teman-teman pergi Shalat Tarawih, menikmati ceria Ramadhan, ke mesjid-mesjid dan mushalla yang ada di seputaran kampus, saya asyik sendirian di kosan. Memang sendirian. Mengapa tidak ikut teman dan sedikit mengisolasi diri? Karena ingin melaksanakan Shalat Tarawih 20 rakaat itu. 

Boleh dapat dikata, semua mesjid dan mushalla diseputaran kampus melaksanakan Shalat Tarawih 8 rakaat dengan 2 kali salam (4-4). Dan dalam Mazhab Syafi’i, Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat dengan sekali salam itu tidak sah. Bukan tidak sah shalatnya, namun tidak sah disebut Tarawih, dengan beberapa ilat (coba lihat foto kitab I’anah Thalibin di bawah). Andai saja Tarawih itu dikerjakan 2-2, tentu saya dapat ikut ke mesjid dan mushalla sambil bercanda ria dengan teman. 

Dengan sedikit helah, dapat saya menyambung Tarawih di rumah sampai genap bilangan 20, setelah Shalat 8 di mesjid (tanpa ikut witir). Dengan sikap saya itu, teman-teman saya menertawakan. Biar saja, ucap dalam hati. Namun akhirnya ada juga teman-teman itu yang simpati, dan ikut saya shalat di kosan dengan berjamaah. Meskipun ia hanya mengikuti sampai 8, paling tidak sudah 2-2, sesuai dengan hadits masyhur disebutkan.

Di sebuah mushalla, di kampung saya, saya pernah berdebat semalaman dengan seorang bapak tua dari kampung sebelah. Saya ingat waktu itu masih SMA, dan sedang hobi berdebat. Alasannya ia sudah ikut campur merubah amalan di kampung saya, terutama tentang Tarawih. Awalnya di kampung itu 8 rakaat dengan 2-2 (saat itu saya shalat 8 rakaat 2-2 di mushalla dan disambung di rumah sampai 20), kemudian diubahnya menjadi 4-4. Seandainya sejak awal didirikan mushalla itu mengamalkan 4-4, tentu saya tidak berani. Tapi karena mengubah yang sudah ada, maka saya tampil. Saya tunggu ia sampai selesai Tarawih, saya bawa kitab-kitab tebal dan duduk di belakang jamaah. 

Saat berhadapan kitab tak jadi dikembang, karena beliaupun tidak bisa membaca, hanya mendengar-dengar saja dari orang. Sejak itu amalan kembali semula. Allahu yarham, bapak itu sudah wafat, dan saya membaca al-Fatihah dan berdo’a hadiah pahala baginya. Jika dikenang, kenekatan berdebat saat itu membuat saya geli. Entah keberanian dari mana. Andai saja keadaan seperti itu kembali lagi, tentu saya tidak berani. Saya lebih memilih diam dan pergi, sambil berucap “up to you”, “perbuat sajalah sesukanya”.

Sampai saat ini sikap saya tidak berubah. Semakin lama berjalan, semakin banyak buya ditemui, semakin banyak kaji didengar, dan semakin banyak kitab dibaca, hati semakin mantap untuk tetap Tarawih 20 rakaat. Semakin terang bak matahari di siang hari bahwa Shalat Tarawih ialah qaul yang muktabar di sisi jumhur ulama, dari dahulu sampai sekarang. Tapi dilemanya, saat ini saya didaulat menjadi mubaligh yang selama Ramadhan mempunyai jadwal hampir penuh (saya mengosongkan jadwal selama 7 malam, agar saya dapat mengunjungi guru dan shalat Tarawih bersama beliau). 

Kata dosen saya dulu, saya ini tidak bisa menjadi orator (penceramah) karena warna suara yang tidak begitu baik; lengking dan tidak berirama. Saya mengaminkan dosen saya itu. Tapi masyarakat menghendaki juga. Lama saya menolak, akhirnya saya penuhi juga kehendak pengurus-pengurus mesjid-mushalla itu. Saya tidak pandai duduk di kedai untuk bersosialisasi dengan masyarakat, karena saya sangat pendiam, terlihat misterius. Hanya dengan di atas mimbar, di mesjid dan mushalla, itulah saya dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Apalagi saya sekarang mukim di rantau orang. Jalan ini mesti dipenuhi, mumpung ada yang meminta tampil di depan jamaah.

Perbuatan yang terlihat sangat konyol yang saya lakukan di malam-malam ceramah itu ialah mengulang Tarawih di rumah dari angka 1 sampai 20. Bila 2-2, berarti saya menambah bilangan Tarawih di rumah dari angka 9 sampai 20. Sebab hampir semua shalat 8, kecuali satu dua yang mengamalkan 20. Artinya ketika di tempat, saya hanya mengerjakan shalat dengan niat shalat mutlak, tanpa mengerjakan witir. Agak lain, kalau setelah ceramah langsung pulang, masyarakat akan memandang aneh. 

Beginilah dilema yang dihadapi. Teman-teman sesama mubaligh yang satu amalan dengan saya pernah berbisik, “maunya Ramadhan-Ramadhan besok kita tak lagi mengisi jadwal, fokus i’tikaf dan ibadah saja, biar tidak dilema”. Betul juga kata teman itu. Teman lain memandang saya sebagai malin konyol, “kan shalat sunnat”, katanya, ‘buat apa ribet-ribet”, ia menyambung. Barangkali teman itu belum memahami prinsip-prinsip bermazhab, dan saya tentu tidak mau disebut “pimpiang di ateh lereng”.

Wal akhir, sikap istiqamah, itulah yang saya harapkan ada pada diri ini. Itu adalah sikap ulama-ulama rasikhin di masa lampau, yang saya baca sejarahnya dalam manaqib-manaqib dan tarajum. Saya pahami, ulama dulu tidak selalu ‘alim besar yang tahu segala-gala. Satu saja yang sangat menonjol, dan membuat mereka berhasil di tengah masyarakat, yaitu istiqamah dalam ilmu dan amal. Istiqamah inilah yang menyampaikan mereka (secara majazi) kepada Allah ‘azza wa-jalla. Benar sungguh buah kalam Syaikh ibnu ‘Athaillah Sukandari, “Istiqamah lebih baik dari seribu karomah (keramat)”. 

Meskipun masih belajar dan mengansur-ansur “bangkalai”, saya sudah rasakan bagaimana “air-air’ dari natijah istiqamah itu. Dan ini tak bisa diungkap dengan lidah, tak pula dapat ditulis dengan kata-kata.

Ramadhan 1439
di perantauan, Mungka

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *