Pada tahun 1765 Polorejo resmi menjadi kota Kabupaten, dengan bupatinya yang pertama ialah Raden Tumenggung Brotonegoro, putra Tumenggung Surodiningrat 1 bupati Ponorogo dengan patihnya Tambakboyo. Tumenggung Brotodiningrat sendiri dibantu oleh seorang patih yaitu Raden Dipotaruno. Pusat pemerintahan kabupaten terletak di Dukuh Dalem Ds. Polorejo, sekarang Jl. Srigading kecamatan Babadan Ponorogo atau Kutho Lor.
Pada tahun 1825 M ketika terjadi perang Diponegoro melawan Belanda, Pangeran Diponegoro beserta bala tentaranya memasuki wilayah Ponorogo dari wilayah Kabupaten Pacitan, dan istirahat di Kabupaten Polorejo yang dipimpin oleh Tumenggung Brotonegoro, koleganya sewaktu nyantri di pesantren Tegalsari. Setelah istirahat sehari semalam di Polorejo, mereka lalu berangkat lagi kearah barat menuju Jawa Tengah melalui Sumoroto dan Badegan kemudian kembali ke Yogjakarta.
Informasi keberadaan pasukan Diponegoro di Polorejo yang disambut hangat oleh koleganya Tumenggung Brotodiningrat memancing reaksi Belanda untuk melancarkan serangan militer ke daerah Ponorogo dan sekitarnya yang dianggap mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro dan pasukannya.
Tetapi sebelum penyerbuan Belanda, Tumenggung Brotonegoro sudah menyiapkan para prajurit dengan persenjataan lengkap dan persiapan mental dan phisik dengan membangun pesanggrahan dari bambu yang di bentuk menara setinggi 2 pohon bambu (rong uder) yang digunakan untuk mengintai kedatangan musuh sekaligus sebagai pusat komando. (Kini berada di utara masjid Bakalan desa Polorejo, barat daya pusat Kadipaten Polorejo).
Perang Brotonegoro melawan Belanda terjadi pada tahun 1825 M. Medan pertempuran berada di sebelah barat daya pesanggrahan, gong Kyai Demung sebagai aba-aba perang dipukul terus-menerus hingga kuda yang di tunggangi Brotonegoro lari melesat secepat kilat ndigar-ndigar menjemput musuh, dan tumenggung tampak gagah berani sebagai komandan perang.
Peperangan berlangsung dahsyat hingga waktu sore hari menjelang malam dan Belandapun mundur, prajurit Brotonegoro teepecah ke berbagai penjuru arah. Tumen gung Brotonegoro yang sudah kembali ke pesanggrahan dengan diikuti oleh sebagian prajurit segera menyalakan pelita. Di saat prajurit lainnya kebingungan mencari pesanggra han, salah seorang prajurit melihat lampu yang kerlip-kerlip (kelip-kelip) disebelah barat, kemudian mereka segera bergabung dengan Tumenggung Brotonegoro di Pesanggrahan.
Tempat prajurit memukul Gong Demung dinamakan dukuh Demung desa Sukosari. Tempat ndigar-ndigar kudanya Brotonegoro dinamakan persawahan Tegari, masuk Desa Polorejo. Tempat prajurit mengatakan kelip-kelipnya lampu pesanggrahan itu dinamakan Sekelip masuk wilayah Polorejo. Bekas (petilasan) pesang grahan Brotonegoro dinamakan sawah Tilasan, karena sekarang berupa tanah persawahan. Tempat yang dahulu kala ada gerumbulnya dinamakan gerumbul Tilasan dan gerumbul itu di tebang sekitar tahun 1998 M.
Pada tanggal 15 Nopember 1825 para pendukung setia Diponegoro yang dipusatkan diselatan kota Ngawi mendapat gempuran hebat dari serdadu Belanda. Dari sebelah utara dipimpin oleh Theunissen, dari barat didipimpin oleh Letnan Vlikken Sohild dengan ratusan prajurit Jogorogo Surakarta pro Belanda. Akhirnya pasukan Madiun yang setia kepada Diponegoro kocar-kacir dan Ngawi jatuh ketangan Belanda.
Sementara itu pertahanan Diponegoro di Madiun Selatan ditempatkan di daerah Pacitan dengan panglima daerah dibawah pimpinan Bupati Mas Tumenggung Djojokaridjo, Mas Tumenggung Djimat dan Ahmad Taris, namun karena kuatnya serdadu Belanda pada akhir Agustus 1825 M, Pacitan dapat dikuasai oleh pasukan Belanda.
Dengan berhasilnya Belanda melumpuhkan pasukan Diponegoro di Madiun di utara, sektor selatan di Pacitan dan sektor barat laut di Ngawi, maka wilayah Madiun secara keseluruhan sudah jatuh ketangan Belanda dan Tumenggung Brotonegoro bupati Polorejo yang menjadi benteng pertahanan terakhir kota Ponorogo utarapun tidak luput dari serbuan Belanda.
Brotonegoro dengan gagah berani menghadang serdadu Belanda yang datang dari dua arah, Madiun dan Goranggareng Magetan. Karena pasukan dan persenjataan yang tidak seimbang, banyak pasukan Brotonegoro banyak yang tewas. Melihat keadaan yang semakin menghawaturkan, maka sang pekathik dengan sigap meloncat naik ke punggung kuda tuannya, Brotonegoro, menarik kendali kudanya dan mencambuknya dengan keras hingga kudanya lari melesat cepat menuju arah barat laut.
Melihat Brotonegoro keluar dari medan pertempuran dan memacu kudanya sangat cepat, Belanda pun mengejarnya hingga kebawah puncak Gunung Gombak (Nglarangan) Kauman Sumoroto. Pada waktu itu tidak boleh seorangpun penduduk pribumi yang naik keatas bukit untuk menemui Brotonegoro, hingga waktu yang sangat lama, sehingga karena tidak ada makanan dan minuman setelah bertahan sekian lama, akhirnya Tumenggung Brotonegoro menemui ajalnya.
Gunung Gombak kemudian dinamakan Gunung Larangan, karena adanya larangan dan ancaman dari Belanda kepada warga pribumi untuk tidak naik ke aras bukit. Akhirnya jenazah Brotonegoro oleh Belanda dikuburkan diatas Gunung itu bersama kudanya Tejosumekar dan pekathiknya. Namun beberapa hari kemudian beberapa saudara dari Brotonegoro diam-diam memindahkan jenazah beliau ke makam Katongan, Setono Jenangan Ponorogo bersama para leluhurnya.
Apakah perlawanan Brotonegoro berakhir ? Tidak ! Bahkan spirit perlawanan terus diestafetkan ke generasi setelahnya. Namun strateginya diubah, dari perang fisik menjadi perang kulturak lewat jalur pendidikan. Para lasykar santri dan ulama pasca tertangkapnya Diponegoro, berdiaspora, menyebar ke berbagai wilayah dan mendirikan basis-basis perlawanan kultural dengan mendirikan masjid dan pesantren jauh dari tangsi tangsi Belanda.
Trah Brotonegoro pun tidak ketinggalan, mengambil bagiannya dalam perlawanan kultural ini. Para dzuriyah/keturunan Brotonegoro menyebar ke semua arah penjuru mata angin, guna mendirikan masjid dan pesantren, bahkan salah satunya menjadi pesantren besar di Indonesia, yaitu Gontor, meneruskan kebesaran pesantren Tegalsari.
Jejaring ‘Gontor’ dengan estafet perjuangan ‘Brotonegoro dan Diponegoro’ ini, dapat dilacak salah satunya melalui nasab. Merujuk catatan silsilah “Tegalsari, Gontor dan Nglumpang”, Kanjeng Nglarangan atau Tumenggung Brotonegoro dikaruniai putri yg kemudian dinikahi oleh penghulu Polorejo, bernama Kyai Nur Ngali.
Dari pernikahan Kyai Nur Ngali dengan putri Bupati Brotonegoro lahir salah satu putri yg diambil menantu oleh Kyai Sulaiman Jamaludin. Sulaiman Djamaluddin adalah seorang bangsawan Cirebon putra Pangeran Hadiraja putra Sultan Kasepuhan Cirebon yang nyantri di Pondok Tegal Sari. Beliau kemudian dijadikan menantu oleh Kiai Kholifah Hasan Besari.
Demi meneruskan kembali perjuangan Pesantren Tegal Sari yang mulai redup, Kyai Sulaiman Djamaluddin mendirikan pondok di Desa Gontor (Pondok Gontor lama) dan berdiam di sana sampai akhir hayatnya. Kyai Sulaiman Djamaluddin mempunyai putra bernama Kyai Arham Anom Besari yang kemudian menikah dengan cucu Bupati Brotonegoro dari menantu Kyai Nur Ngali.
Kiai Arham Anom Besari dari pernikahannta dengan cucu Brotonegoro memiliki seorang putra bernama Raden Santoso Anom Besari, yang menikah dengan seorang putri keturunan Kanjeng Bupati Suryodiningrat (ayahanda Brotonegoro). Raden Santoso Anom Besari inilah yang menurunkan Trimurti, Tiga Serangkai pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.
Pada kepemimpinan Raden Santoso Anom Besari, Pondok Gontor Lama mulai surut. Ia pun meninggal di usia lanjut. Saudara-saudaranya tak sanggup menggantikan dan mempertahankan keberadaan Pondok Gontor Lama. Nyai Santoso, bekerja keras mendidik putra-putrinya agar dapat meneruskan perjuangan menghidupkan kembali Pondok Gontor Lama yang telah mati.
Akhirnya, dengan didikan sang ibu dan keteguhan hati, tiga orang putranya yang kemudian dikenal dengan Trimurti yaitu KH. Abdullah Sahal, KH, Zainuddin Fanani dan KH. Imam Zarkasyi mampu mewujudkan cita-cita, membangun kembali Pondok Gontor Baru, yang kini dikenal dengan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Sebagai bukti bahwa leluhur Gontor berasal dari pejuang petang Diponegoro adalah keberadaan pohon sawo kecik yang tertanam di halaman Masjid Atiq (Masjid Pusaka) Gontor yang menjadi cikal bakal Pondok Gontot. Dipilihnya pohon sawo merupakan ‘sandi’ dan ‘pananda’ komitmen perlawanan lasykar Diponegoro di wilayahnya masing-masing, sebab pohon ini mengandung filosofi kalimat “sawwu sufufakum” yg artinya ” rapatkan barisan “.
Maka bisa dipahami, kenapa dalam banyak kesempatan, para Kyai Pengasuh Gontor secara berulang-ulang menyampaikan kata-kata ” Pesantren harus Anti Penjajahan, jika tidak, maka Pesantrennya Batil ” di hadapan para santri dan alumninya sebagai bukti sejarah bahwa Pesantren Gontor lahir dari rahim perlawanan terhadap penjajahan Belanda kala itu.
~~~~~~~~~~~~~~~~
Kembali pada kisah peperangan di Kadipaten Polorejo, ketika Bupati Brotonegoro meloloskan diri ke gunung Gombak bersama pekathiknya, sang patih Polorejo Raden Dipotaruno juga berhasil meloloskan diri ke Desa Srandil dan bersembunyi di Goa Batu yang ada di bukit Ngrayu. Setelah situasinya aman, beliau memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan sejak saat itu beliau berganti nama menjadi Raden Mertokusumo.
Di Desa Srandil (Kecamatan Jambon, 11 km barat Pinorogo), Raden Mertokusumo menjadi sesepuh dan panutan masyarakat Srandil bersama Kyai Mohibat, putra Kyai Kasan Yahya dari Tegalsari, yakni tokoh pertama yang membuka (membabat) Desa Srandil. Kedua tokoh tersebut sangat dihormati oleh masyarakat Srandil sampai sekarang.
Sebelum Raden Mertokusumo meninggal dunia, beliau berpesan kepada masyarakat Srandil, bahwa jika beliau meninggal dunia, jenazahnya supaya dimakamkan di Bukit Srayu (Gunung Srandil) yang artinya Sugeng Rahayu atau bukit pembawa keselamatan. Karena atas pertolongan Allah, di Bukit Srayu itulah beliau berhasil menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Belanda.
Dimasa hidupnya Raden Mertokusuma mempunyai teman seperjuangan bernama Warok Potronenggolo yang mempunyai satu permintaan bahwa apabila ia meninggal, jenazahnya minta dimakamkan di gunung Srandil disisi Timur agar bisa berdekatan dengan sahabatnya Raden Mertokusumo. Karena rasa hormat dan sayangnya beliaupun mengizinkannya.
Tetapi keanehan terjadi ketika Warok Potromenggolo wafat, jenazahnya menjadi sangat berat dan tidak satupun orang yang kuat untuk mengangkatnya. Karenanya Raden Mertokusumo mengadakan sayembara: “Barang siapa yang bisa memindahkan jenazah Warok Potromenggolo yang wafat di dusun Maron Sumoroto ke puncak gunung Srandil disisi Timur akan diberi wilayah di perdikan Srandil sigar semongko (setengahnya).
Akhirnya pendiri dusun Maron, Ki Mertogati berhasil memindahkan jenazah Warok Potromenggolo ke puncak gunung Srandil sebelah timur dan diberi setengah wilayah perdikan Srandil yang berupa tanah persawahan kepada kepada Ki Mertogati untuk dimasukkan ke desa Maron.
Hal ini membuat keprihatinanan tersendiri bagi warga perdikan Srandil. Beberapa tetua kemudian menadu kepada Ki Mertokusumo tentang masa depan anak cucu mereka. Ki Mertokusumo tersenyum dan menjawab:
“Kowe sinauo, nek kowe pinter rejekimu bakal teko dewe.” Hal ini ternyata kemudian hari terbukti bahwa warga desa Srandil apabila mau sekolah dan mempunyai sekembar ijazah, rata-rata diangkat sebagai abdi negara, baik sebagai guru, pegawai negeri, tentara, polisi dan lainnya.
Adapun nasib Kadipaten Polorejo pasca wafatnya Brotonegoro kedudukan Bupati Polorejo digantikan oleh Brotowirjo (1825-1829), adik kandung Brotonegoro, kemudian digantikan oleh putra menantunya yang bernama Mertomenggolo (1829 – 1834). Selanjutnya di gantikan oleh R.T Wirjo negoro putra R.T Brotowirjo (1834 – 1837). Di tahun 1837 R.T Wirjonegoro meninggal dunia. Kabupaten Polorejo kemudian disowak ((ditiadakan) oleh Belanda bersama dengan Kabupaten Ponorogo Kutha Wetan (Kota Lama).
Sumber:
Sejarah Perjuangan Adipati Brotonegoro Polorejo
http://wiyonggoputih.blogspot.com/2019/10/sejarah-perjuangan-adipati-brotonegoro.html?m=1
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10158203346998303&id=753163302
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10214310164948201&id=1838871845