Sosok Asy’ari sejak muda sudah terlihat menonjol secara akhlak dan intelektual. Hal itu terlihat ketika dirinya menjadi santri di Pondok Nggedang. Pondok asuhan Kiai Usman ini terletak sekitar dua kilometer di sebelah utara Kota Jombang, dekat Tambakberas.

Pesantren Nggedang didirikan oleh Kiai Abdus Salam atau dikenal dengan nama Kiai Shihah/Kiai Shoichah. Kiai Abdus Salam adalah putera Kiai Abdul Jabbar bin Pangeran Benowo bin Abdurahman (Joko Tingkir). Kiai asal Lasem, Rembang, ini bersama istrinya, Muslimah, membuka hutan di Nggedang untuk mendirikan permukiman dan pesantren pada tahun 1825. Pondok pesanten ini merupakan pondok tertua di Jombang. Awal berdirinya pondok ini sebelumnya bernama pondok pesantren Slawe, karena murid pertama Kiai Abdus Salam berjumlah 25, yang arti dalam bahasa jawa adalah “selawe”.

Kiai Usman adalah seorang ulama putra Kiai Hasan asal Demak Jawa Tengah, yang masih merupakan keturunan dari Sultan Demak, Raden Patah Bintoro. Kiai Usman ahli ilmu Thoriqoh Naqsabandiyyah serta memiliki pengaruh yang besar di zamannya. Beliau mendapatkan ilmu thoriqoh dari guru thoriqohnya, Kiai Wahab Joresan, Mlarak, Ponorogo. Kemudian beliau melanjutkan berguru kepada Kiai Abdus Salam Jombang dan menikah dengan putri sulungnya bernama Layyinah. Dalam perkawinannya dengan putri Layyinah, putera-puteranya seringkali meninggal dunia saat dilahirkan. Namun, pada 1268 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1851 Masehi, Kiai Usman dianugerahi Allah SWT seorang puteri yang diberi nama putri Winih, yang berarti benih. Tapi kemudian puteri Winih diubah namanya menjadi Halimah. Sedangkan Halimah mempunyai 4 saudara yaitu Muhammad (Tandur), Leler (Lilir), Fadil (Cukul) dan Ny Arif (Jebul). Sepeninggalan Kiai Abdus Salam, Kiai Usman melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren milik mertuanya itu bersama dengan menantu Kiai Abdus Salam yang lain, yaitu Kiai Sa’id bin Kiai Syamsudin Asal Kediri yang ahli ilmu Syari’at.

Suatu tempo Kiai Usman mempunyai seorang santri bernama Asy’ari, berasal dari Kota Salatiga Kabupaten Semarang. Saat itu sudah agak lama pemuda Asy’ari mengenyam pendidikan di Pondok Nggedang. Kecerdasan dan kecakapan Asy’ari membuat Kiai Usman tertarik kepadanya untuk dijadikan menantu.

Akhirnya, pemuda Asy’ari dinikahkan oleh Kiai Usman dengan puteri sulungnya, Halimah (Winih). Dari pernikahannya itu, pasangan Asy’ari dan Halimah dianugerahi 11 orang putra, yaitu,

  1. Nafi’ah,
  2. Ahmad Sholeh,
  3. Muhammad Hasyim,
  4. Rodiah,
  5. Hasan,
  6. Anis,
  7. Fatonah,
  8. Maimunah,
  9. Maksum,
  10. Nahrawi,
  11. Adnan

Putera Kiai Asy’ari yang ketiga, yaitu Muhammad Hasyim dilahirkan di Pondok Nggedang pada tanggal 24 Dzulqa’idah 1287 Hijriyah, bertepatan 14 Februari 1871 Masehi. Muhammad Hasyim kemudian lebih dikenal dengan nama Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (di kemudian hari kelak menjadi ulama besar pendiri pondok Pesantren Tebuireng dan ormas Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama).

Lima tahun setelah Muhammad Hasyim lahir, atau pada tahun 1876, Kiai Asy’ari yang lahir pada tahun 1820-an ini mendirikan Pondok Pesantren di Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang. Lewat pesantren yang didirikannya itu, Kiai Asy’ari dikenal sebagai perintis tradisi keilmuan pesantren di daerah Jombang.

Adapun Pesantren Nggedang berkembang menjadi Pesantren Tambakberas, Jombang, di bawah kepengasuhan saudara misan (sepupu) Kiai Usman, yaitu Kiai Said, yang kemudian dilanjutkan oleh putera Kiai Sa’id bernama Kiai Chasbullah Sa’id, (ayahanda KH. Abdul Wahab Chasbullah). Di masa KH. Wahab Chasbullah inilah yayasan baru berganti nama menjadi Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.

Menurut salah seorang cucu KH Hasyim Asy’ari, KH Muhammad Ishom Hadziq, ayahanda Kiai Asy’ari bernama Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Pangeran Adiwijaya (Joko Tingkir).

Sedangkan Nama asli Abu Sarwan menurut Gus Dur adalah Kiai Khoiron asal Salatiga. Kiai Khoiron berbadan pendek dan kurus, sehingga masyarakat menjulukinya “Mbah Gareng”. Gareng adalah nama salah satu cerita pewayangan “Punakawan Catur” yang digambarkan (memiliki badan kurus dan pendek). Semar (berbadan gemuk tinggi), Petruk (berbadan kurus tinggi), dan Bagong (berbadan gemuk pendek). Meskipun kiai Khoiron/Abu Sarwan kecil orangnya, tetapi beliau memiliki kecerdasan yang tinggi, alim, dan pengetahuan agama yang luas sehingga memiliki banyak murid melalui dakwah-dakwahnya yang berpindah-pindah, hingga menetap di Kabupaten Grobogan dan meninggal di makam kan disana. Kiai Khoiran memiliki 2 putera bernama Asy’ari dan Al Asyngari. Putera pertama yang bernama Asy’ari menuntun ilmu agama ke Rembang, kemudian ke Tuban. Di Tuban beliau bersahabat dengan KH. Muhammad Nur, pendiri pondok Pesantren Langitan generasi pertama. Setelah itu kemudian beliau melanjutkan nyantri di pondok Nggedang, Jombang, asuhan Kiai Usman dan kemudian menetap di Jombang.

Nasab Kiai Asy’ari merujuk ke Joko Tingkir alias Sultan Pajang. Joko Tingkir bergelar Sultan Adiwijaya. Ia adalah kakek kedelapan dari KH Hasyim Asy’ari. Joko Tingkir alias Mas Karebet adalah menantu Sultan Trenggono Demak, namun setelah Demak runtuh ia mendirikan Kesultanan Pajang. Joko Tingkir juga masih keturunan Raja Brawijaya VI. Ayah Joko Tingkir bernama Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga) adalah murid dari Syech Siti Jenar. Tentunya ini sangat berbeda dengan Joko Tingkir yang di didik dan bimbingan langsung oleh para Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Muria.

Ki Ageng Pengging sendiri sebenarnya adalah putera dari Syech Muhammad Syarif Kebungsuan atau biasa di panggil Andayaningrat atau Ki Ageng Wuking I (asal Timur Tengah, yang memiliki nasab hingga Rasulullah SAW). Di Tanah Jawa beliau menikah dengan Ratu Pembayung, putri Raja Brawijaya VI (Raja Majapahit).

Kiai Asy’ari wafat tahun 1890 dan dimakamkan di lingkungan pemakaman Pesantren Keras. Pada tahun 1892 ketika itu KH Hasyim Asy’ari menikah dengan Nyai Nafisah putri KH Ya’qub bin Hamdani (Pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo). Namun ayahandanya (Kiai Asy’ari) sudah tiada, sehingga beliau (Kiai Asy’ari) tidak bisa menyaksikan puteranya yang kelak menjadi ulama besar itu melangsungkan pernikahan.

Pesantren Keras kemudian dikelola masing-masing oleh putera beliau, KH Ahmad Sholeh, dan menantu beliau, KH Alwi, yang dikenal ahli bela diri dan kanuragan.

Di tahun 1930-an Pesantren Keras kemudian diasuh oleh KH Basuni, lalu dilanjutkan oleh KH Salahuddin hingga tahun 1970-an. Setelah itu jarang ada santri yang terlihat mondok. Kemudian di tahun 1990-an KH Ahmad Labib melanjutkan estafet kepemimpinan pondok Keras, meskipun jumlah santrinya sedikit. Dengan adanya pesantren Tebuireng yang di bangun KH Hasyim Asy’ari, pondok pesantren Keras terlihat kecil dan minim santri. Namun, meskipun tidak sebesar Tebuireng yang pernah menjadi rekor daftar pesantren terbesar se-Indonesia, Pesantren Keras mulai membuka madrasah dan yayasan yang kemudian hari berganti nama menjadi Pesantren Al-Asy’ari Keras, kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *