Permulaan sampai pertengahan abad 20 masehi merupakan fase sejarah di Nusantara yang memuat perdebatan intelektual keagamaan yang terkadang juga memicu polemik berkepanjangan. Pada abad ini, istilah ulama Kaum Tua dan Kaum Muda, atau Tradisionalis dan Modernis, dan dalam beberapa tulisan ulama Nusantara sendiri menyebutkan antara Ahlussunnah dan Wahabi; meskipun saya tidak sepenuhnya sependapat dengan istilah terakhir, sebab adanya perbedaan yang mendasar antara istilah Wahabi abad tersebut dengan Wahabi yang dikenal sekarang. Istilah ini lahir dan menyebar secara cepat di Nusantara. Meskipun istilah ini lebih populer di Minangkabau, tetapi perdebatan dan polemik antara kedua belah pihak juga di temukan hampir sebagian besar di wilayah Nusantara. Salah satu tokoh ulama yang ikut berkontribusi dalam arena perdebatan tersebut adalah Syaikh Muhammad Tahir Jalaluddin Minangkabau, seorang tokoh ulama Kaum Muda asal Minangkabau yang berkiprah di tanah Malaysia yang juga ahli dalam ilmu falak.

Ia menuangkan pemikiran keagamaannya dalam karya terakhir tentang polemik keagamaan di sebuah kitab yang berjudul Risalah Penebas Bid’ah-Bid’ah di Kepala Batas. Sebelumnya, ia menulis dua karya terkait polemik shalat qabliyah Jumat. Kitab pertama berjudul Ta’yid Tazkirah Muttabi’i al-Sunnah fima Yuf’al Qabla wa Ba’da al-Jumah dalam Bahasa Arab dalam 61 halaman. Karya ini dibantah oleh karya Syaikh Abubakar Muar Johor yang berjudul Taman Persuraian Membatalkan Perkataan Syaikh Muhammad Thair Jalaluddin al-Mingkabawi Yang Mengatakan Sembahyang Qabliyah Jumat Itu Bid’ah yang selesai ditulis di Muar pada malam Senin, 6 Ramadan 1346 H.

Sementara kitab kedua berjudul Huraian Yang Membakar, Taman Persuraian Haji Bakar Pada Menyatakan Dua Rakaat Qabliyah Jumat dalam tulisan Jawi dan memuat 83 halaman, sebagai bantahan atas karya Syaikh Abubakar Muar Johor yang berjudul Taman Persuraian yang disebutkan sebelumnya. Kitab ini selesai ditulis tahun 1349 H atau sekitar tiga tahun setelah karya pertama ulama Minangkabau tersebut ditulis. Polemik tersebut masih berlanjut dengan tulisan Syaikh Abubakar Muar yang berjudul Taufan Yang Memalui Atas Huraian Haji Tahir al-Mingkabawi yang selesai ditulis pada tanggal 10 Rabiul Awal 1351 atau dua tahun setelah kitab Huraian Syaikh Tahir Jalaluddin. Saya sendiri tidak memiliki dua karya Syaikh Tahir Jalaluddin tersebut, tetapi dalam kata pengantar karya Syaikh Abubakar Muar yang berjudul Taman Persuaraian, disebutkan bahwa penulisnya mengarang karyanya sebagai respons atas pertanyaan beberapa orang yang datang kepadanya dan secara khusus atas surat Haji Usman bin Muhammad Said, seorang guru agama di Sekolah Agama di Bandar Maharani yang menyertakan di dalamnya karya Syaikh Tahir Jalaluddin di atas. Oleh karenanya ia mengarang kitab tersebut.

Adapun kitab Risalah Penebas Bid’ah-Bid’ah di Kepala Batas, sebagaimana disebutkan sebelumnya, merupakan karya terakhir tentang polemik keagamaan. Sebagai kitab terakhir, tentunya ia tidak hanya membahas satu persoalan saja sebagaimana dua karya sebelumnya tentang qabliyah Jumat, tetapi memuat dan menuangkan sebagian besar pemikirannya tentang beberapa persoalan keagamaan yang menunjukkan identitas dirinya sebagai tokoh ulama terkemuka di barisan Kaum Muda. Menurut Hafiz Zakariya, kitab ini ditulis sebagai respons atas polemik keagamaan pada tahun 1952 di daerah Kepala Batas. Keadaan tersebut berlanjut sampai diadakan sebuah konferensi tanggal 4 Januari 1953 yang menghimpun kedua belah pihak ulama Kaum Tua-Kaum Muda. Namun, ia tidak menghadiri pertemuan tersebut. Sebaliknya, ia merespons pandangan keagamaan Kaum Tua dengan menulis dan menerbitkan karya ini pada 13 Sya’ban 1372 H/ 27 April 1953 M. Di samping itu, dalam posisi yang berlawanan, seorang ulama Kaum Tua yang bernama Syaikh Ahmad Fuad Hasan menerbitkan sebuah risalah berjudul Risalah Ketetapan Majelis Muzakarah Ulama Se-Malaya pada 29 Rajab 1372 H/ 13 April 1953 M atau sekitar empat belas hari sebelum karya ulama Minangkabau sebelumnya. Seperti yang tersebut dalam judul kitab, Syaikh Ahmad Fuad Hasan merangkum sekitar 15 persoalan yang dibahas dalam muzakarah tersebut dalam pandangan keagamaan ulama Kaum Tua.

Saya memperoleh data dari Tuan Abdul Razak Abdul Rahman, seorang ustadz peminat karya ulama-ulama Nusantara dan pendiri Pustaka Jawi Al-Qedahi (PJAQ) yang berdiam di Kuala Lumpur, dan darinya saya memperoleh karya Syaikh Tahir Jalaluddin tersebut, bahwa ia menyebutkan Kepala Batas sekarang berada di wilayah Pulau Pinang.

Apa yang dibahas Syaikh Tahir Jalaluddin dalam karya tersebut, setidaknya ada sembilan persoalan keagamaan, yaitu jumlah jamaah shalat Jumat, shalat Jumat yang diulangi dengan shalat Zhuhur, masalah kiblat, azan pertama shalat Jumat di atas menara, shalat sunah qabliyah Jumat, mengucapkan ushalli, mengucapkan sayyidina, berdiri ketika marhaban, dan talqin mayit setelah dikuburkan. Rincian persoalan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Dalam persoalan jumlah shalat Jumat, menurutnya bahwa tidak ada jumlah jamaah yang ditetapkan dalam hadis-hadis nabi SAW. Bahkan, para ulama sendiri dalam menentukan jumlah tersebut beragam pendapat yang sampai kepada 15 pendapat. Oleh karenanya, tidak dilakukannya shalat Jumat berjamaah yang tidak sampai 40 orang, merupakan bid’ah dan kesalahan. Ia memberikan sebuah hadis terkait hal ini yang maksudnya bahwa tidak bagi tiga orang yang berada di sebuah kampung dengan tidak melakukan shalat berjamaah kecuali setan telah menguasai mereka –dalam kampung tersebut. Dalam Ulama, Islam dan Nusantara: Catatan Ringkas Pergulatan Pemikiran Keagamaan (hlm. 125), saya menjelaskan bahwa perbincangan tentang status keabsahan shalat Jumat yang kurang dari 40 orang sudah dibahas di sekitaran abad 16 atau 17 masehi dimana, ketika Syaikh Ahmad Qusyasyi, seorang ulama yang menjadi guru Syaikh Abdul Rauf al-Fansuri menyebutkan pelaksanaan shalat yang kurang dari jumlah tersebut sudah dilakukan di Nusantara.
  • Menurutnya, shalat Zuhur setelah Jumat sebagaimana yang dilakukan di Pulau Pinang dan Singapura merupakan perbuatan bid’ah. Sebab, shalat Jumat tersebut secara hukum dinyatakan sah, sehingga tidak memerlukan pengulangannya dengan ibadah shalat Zuhur
  • Dalam mazhab Syafi’i, menghadap ke Kakbah merupakan syarat sah sebuah shalat. Oleh karenanya, adanya sebagian yang menghadap ke arah Kakbah, merupakan bid’ah dan kesalahan. Dalam hal ini, ia banyak menukil pendapat para ulama mazhab Syafi’i untuk menguatkan pendapatnya.
  • Azan pertama shalat Jumat. Menurutnya, azan pertama di zaman nabi SAW dan kedua sahabatnya dimulai ketika seorang imam naik dan duduk di atas mimbar. Oleh karenanya, penambahan azan di atas menara sebelum imam naik mimbar adalah termasuk bid’ah. Hal yang sama juga disebutkan Syaikh Tahir Jalaluddin bagi empat persoalan keagamaan lainnya.

Siapakah Syaikh Muhammad Tahir Jalaluddin Minangkabau. Ia adalah ulama Nusantara yang terkemuka dalam barisan Kaum Muda. Biografinya sepintas disebutkan oleh guru dan saudara sepupunya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dalam otobiografinya yang terkenal. Dalam kitab tersebut, Syaikh Ahmad Khatib menyebutkan bahwa ia membawa sepupunya ke Mekkah dan mengajarinya ilmu-ilmu agama. Setelah itu, sepupunya melanjutkan pelajarannya ke Mesir dan kemudian bersahabat dengan tokoh modernis Islam yang bernama Syaikh Muhammad Rasyid Rida, pendiri majalah al-Manar dan murid langsung Syaikh Muhammad Abduh. Dari perkenalan tersebut, ketika kembali ke Nusantara, ia dengan sahabatnya mendirikan sebuah majalah al-Imam yang senada dengan semangat majalah al-Manar. Majalah al-Imam tersebut yang menginspirasi tokoh Kaum Muda di Minangkabau, yaitu Syaikh Abdullah Ahmad dengan mendirikan majalah al-Munir

Medan, hari Arafah

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *