Sebelum mengungkap makna cinta para sufi, perlu dijelaskan makna maḥabbah secara bahasa. Sebagaimana yang telah dirangkum oleh al-Qushairī sebagai berikut:
- Kemurnian. Makna ini bersumber dari kata ḥub yang dipakai orang-orang Arab untuk menyebutkan gigi yang paling putih. Mereka menyebutnya حباب الاسنان (gigi-gigi yang putih)
- Gejolak hati (menggelembung hati). Makna ini bersumber dari hati ḥubab yang biasa dipakai orang Arab untuk gelembung-gelembung air dipermukaan air ketika hujan lebat.
- Kepedulian hati. Makna ini bersumber dari ungkapan orang Arab احب البعير (unta yang berlutut dan menolak bangkit). Hal ini digambarkan sang pecinta (muḥib) tidak akan menggerakkan hatinya ke selain yang dicinta (maḥbūb).
- Tetap tidak berubah. Makna ini bersumber dari ungkapan Arab, ḥabb adalah anting-anting, sesuatu yang bertahan-tahan menempel di telinga.
- Tersimpan dalam hati. Ungkapan orang Arab حبةالقلب(penopang hati). Artinya cinta adalah tersimpan dalam hati.
- Memikul beban. Makna ini bersumber dari kata hubb (keempat sisi tempat air). Seseorang yang mencintai akan memikul beban semua sisi yang dicintainya.
- Hanya untuk sang kekasih. Makna ini bersumber dari kata ḥibb, yait tempat yang di dalamnya ada air. Bila ia penuh tidak ada tempat lagi untuk selain kekasih.
Konsep cinta Ilahi pada sufi berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur‟an.
- QS. al-Mā’idah [5]: 54
Bila suat kaum tidak melaksanakan perintah Tuhan, akan didatangkan kaum yang dicintai Allah
- QS. Āli Imrān [3]: 31 dan QS. al-Tawbah [9]: 24
Allah adalah zat yang harus dicintai. Kecintaan kepada Allah melalui Rasul-Nya.
- QS. al-Baqarah [2]: 165
Pengabdian kepada Allah dengan rasa cinta
- QS. al-Dhāriyāt [51]: 56
Pengabdian kepada Allah dengan tulus.
Di samping ayat al-Qur‟an, ditemukan pula dalam hadis riwayat-riwayat tentang cinta pertemuan dengan Allah, antara lain Imam al-Bukhārī mengeluarkan riwayatdari Ubadah bin al-Shamit yang artinya
Siapapun yang mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah mencintai pertemuan dengannya, dan siapapun yang tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuannya dengannya.
Cinta Allah kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan rahmat-Nya.
Perbedaan rahmat dengan maḥabbah. Rahmat merupakan kehendak Allah menyampaikan pahala dan nikmat. Sedangkan maḥabbah (cinta) adalah kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kedekatan rohani kepada Tuhannya. Jadi maḥabbah lebih khusus dari rahmat.
Ada beberapa istilah dalam tasawuf yang menunjukkan ke-ma’rifat-an kepada Allah, yaitu: al-sir, al-qalb, al-rūḥ, al-kasyf, al-mushāhadah dan al-dzauq. Istilah-istilah ini telah diuraikan dalam beberapa literatur tasawuf.
Ke-ma’rifat-an kepada Allah merupakan maqam atau tempat yang diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Ke-ma’rifat-an tidak semata-mata diperoleh melalui usaha keras manusia, bukan pula sesuatu yang dapat diwariskan atau dipindahkan dari seseorang ke seseorang yang lain. Peringkat ma‟rifatullah hanya melalui pancaran Nūr (cahaya) Ilahi langsung ke dada atau hati para sufi yang dipilih Allah.
Dari sinilah, cinta Ilahi menjadi tabiat sufi untuk menjauhi duniawi (zuhud) konsep maḥabbah dalam sufi dipelopori oleh sufi perempuan yang terkenal yaitu Rābi’ah al-Adawīyah (95-185 H. pada abad ke II H.). Cinta menurut Rābi’ah al-Adawīyah merupakan cinta tanpa pamrih, cintanya kepada Allah adalah cinta yang tulus, tanpa mengharapkan sesuatu apapun. Menurut Rābi’ah al-Adawīyah, apabila surga-neraka tidak ada sebagai balasan amal perbuatan manusia di dunia, maka ia pun akan tetap mencintai kekasihnya yaitu Tuhan.
Konsep maḥabbah ini kemudian menjadi karakteristik teori tasawuf pada abad ke-3 H. Konsep maḥabbah didukung oleh tokoh-tokoh sufi berikutnya yaitu Ma’rūf al-Karkhī, al- Junaid al-Baghdādī dan Dzū al-Nūn al-Miṣrī. Cinta atau maḥabbah bagi Dzū al-Nūn al-Miṣrī adalah satu tahapan kepada ma’rifah kepada Allah. Dalam beberapa literatur tasawuf antara lain; karya Abū Bakar al-Kalabadhī yang berjudul al-Ta’arūf fī Mazhāhib Ahl al-Taṣawwuf.
Dzū al-Nūn al-Miṣrī pernah ditanya terkait tentang ma’rifah, ia menjawab; “aku mengetahui Tuhan kiarena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengetahui Tuhan”.
Baca Juga : Tafsir Sufi Tentang Ayat Cinta (1) : Siapakah Dzū al-Nūn al-Miṣrī
Ungkapan Dzū al-Nūn al-Miṣrī ini sangat populer dalam ilmu tasawuf, bagi Dzū al-Nūn al-Miṣrī, maḥabbah merupakan totalitas cinta kepada Allah yang diwujudkan melalui pelaksanaan semua perintahnya, berserah diri sepenuhnya kepada Allah, dan mengosongkan diri dari selain Allah.Seseorang yang masuk dalam tingkat maḥabbah adalah orang yang mengutamakan Allah di atas segalanya, maka Allah pun bisa mengutamakan mereka di atas segalanya.
Bagi Dzū al-Nūn al-Miṣrī, Allah adalah zat yang harus dicintai dan bukan ditakuti. Dzū al-Nūn al-Miṣrī lebih takut berpisah dari Tuhan kekasihnya daripada masuk neraka. Ia mengatakan “aku memanggilmu dihadapan orang lain dengan sebutan “wahai Tuhanku” (Ya Allah). Tetapi bila aku sendirian, aku memanggil dengan sebutan “wahai kekasihku” (Ya Habibi). Sedangkan menurut al-Junaid, cinta adalah peleburan peleburan di dalam keagungan sang kekasih dalam wahana kekuatan sang pecinta.
Konsep maḥabbah ini kemudian terwarisi dari generasi ke generasi, sebagai sesuatu yang dicari oleh para sufi. Seorang murid melakukan beberapa latihan-latihan menuju maqam maḥabbah sesuai dengan petunjuk sang guru. Dari sinilah pada abad ke IV muncul teori-teori maḥabbah yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh sufi, antara lain: al-Mahāsibī, Sahl al-Tustarī, Samnūn al-Muḥib dan lain-lain. Puncak dari teori maḥabbah ini didengungkan oleh al-Ḥusain bin Manṣūr al-Ḥallāj dan murid utama Dzū al-Nūn al-Miṣrī yaitu Abī Yazīd al-Busṭāmī.
Cinta Ilahi menjadi karakteristik khusus yang harus didalami oleh para sufi. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah (1292-1350 M) mengatakan, seseorang tidak akan masuk dalam iman tanpa adanya cinta, seorang hamba tidak akan sejahtera bila tanpa cinta dari Allah, meskipun ia selamat dari ancaman siksaan-Nya.
Bagi Imām al-Qushairī, cinta kepada Tuhan merupakan keharmonisan dengan sang kekasih, penghapusan semua kualitas pencinta, dan penegakkan esensi sang kekasih, yakni Allah. Sampai pada akhirnya terjalinlah hati sang pencinta itu dengan kehendak Ilahi. Cinta bagi al-Qushairī adalah puncak perasaan yang muncul dalam hati.
Al-Qushairī memaknai cinta seperti itu terkait dengan pemaknaan bahasa al- maḥabbah bagi dia yang diambil dari kata ḥabab, yang berarti gelombang di atas air. Ini berbeda dengan tokoh yang lainnya yang memaknai kata maḥabbah diambil dari kata ḥabbah yaitu cinta.
Bila konsep cinta Rabi’ah al-Adawiyah cenderung pada tasawuf murni. Sedangkan Jalāl al-Dīn Rūmī cenderung pada tasawuf filosofis. Pada hakikatnya puncak dari cinta tersebut adalah terbukanya hijab yang mengalangi manusia dengan sang kekasih-Nya. Inilah dikategorikan dengan istilah kashf, ma’rifah, ataupun fanā.
Penjelasan di atas menyisakan pertanyaan lebih dahulu mana maḥabbah ataukah Ma’rifah. Sufi berbeda pendapat tentang cinta termasuk ḥāl atau maqām. Al-Ghazalī mengatakan bahwa cinta adalah maqam tertinggi sebelum ma’rifah. Sedangkan Dzū al-Nūn al-Miṣrī menempatkan cinta sebagai jalan menuju ma’rifah.
Dzū al-Nūn al-Miṣrī sebagai sufi yang menekankan ma’rifah yaitu mengetahui Tuhan dengan hati sanubari.
Salah satu maqāmat utama menuju ma’rifah adalah cinta (maḥabbah). Sebelum sampai maqām cinta, seorang sālik (pengembara rohani) harus menempuh tahapan-tahapan tobat, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, dan ridha.
Tanda seorang yang telah ma’rifah pada Allah, ada 3 hal yaitu:
Pertama, cahaya ma’rifatnya tidak meniup cahaya wara’nya.
Kedua, dia tidak percaya pengetahuan batin, bila pengetahuan batin tersebut telah merasuk pengetahuan zhahir.
Ketiga, melimpahnya rahmat Allah kepadanya.
Selain mirip dengan rahmat, maḥabbah (cinta) yang bermakna pujian Allah kepada hamba-Nya. Allah akan memuji hamba-Nya yang mencintai dengan sifat-sifat indah-Nya. Kondisi ini merupakan manifestasi iḥsan-Nya. Allah menemui hamba yang mencintai-Nya dan hamba menaiki tahapannya hingga bertemu cinta-Nya.
Maḥabbah yang bermakna gejolak rohani. Cinta kepada Allah bukan melalui teks dan interpretasi teks. Cinta kepada Allah tidak sama dengan cinta kepada makhluk yang masih memasukkan rasionalitas. Al-Qushairī menjelaskan cinta kepada Allah merupakan kondisi hati yang sangat lembut dan tak dapat diungkapkan melalui teks. Sebuah kondisi yang mengharuskan adanya ta’dzim atau pengaguman kepada-Nya. Ridha-Nya adalah prioritas utama. Berpisah dengan-Nya adalah kondisi yang memerlukan kesabaran karena menahan kerinduan. Kenyamanan hanya dapat dirasakan bila bersama dengan-Nya. Cinta adalah peleburan diri hamba kepada sang kekasih-Nya, Allah.
Kesimpulan terakhir al-Qushairī bahwa Cinta Ilahi ditemukan melalui dzikir terus-menerus kepada-Nya dalam hati.
- Pernah dimuat di Jurnal al Itqan, Vol 3,No1 Januari – Juli 2017, STAI Al Anwar Rembang
No responses yet