Nama asli beliau adalah Syekh Abdurrauf bin Ali al Fansuri, demikian tertulis dalam literatur yang beredar. Beliau lahir dari  keluarga yang kuat menjaga tradisi keislaman. Ayahnya Syekh Ali al-Fansuri adalah seorang ulama dan tokoh masyarakat, dan ada yang menyebut adik kakak dengan Hamzah al Fansuri ‘Pujangga Melayu’. Syekh Abdurrauf kecil belajar langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama terpandang di kota kelahirannya Singkil Aceh. Rasa haus terhadap ilmu mendorong Syekh Abdurrauf muda berlayar ke semenanjung Jazirah Arab. Banyak  tempat di Timur Tengah yang pernah disinggahinya untuk menimba ilmu pengetahuan dari para ulama setempat. Mulai  dari Dhoha, Qatar, Zabid, Yaman, Jeddah, dan berakhir di tanah suci Mekkah dan Madinah. Selama 19 tahun Syekh Abdurrauf Singkel melanglang buana belajar kepada ulama-ulama ternama dunia Islam seperti Syekh Ahmad Qusyasyi dan Syekh Ibrahim Kurani yang merupakan guru utama dari Syekh Abdurrauf Singkel.

Setelah menjadi alim ‘allamah, beliau kembali ke Tanah kelahirannya Aceh. Beliau kemudian diangkat sebagai Syaikhul Islam dan mufti yang mengawasi pemahaman keislaman di Aceh saat itu. Syekh Abdurrauf Singkel termasuk ulama yang produktif dalam menulis, banyak karya tulisnya yang menjadi bacaan para peneliti sesudahnya. Banyak karyanya yang monumetal, sebut saja kitab tafsir melayu pertama Tarjuman al-Mustafid yang merupakan kitab tafsir pertama dalam versi melayu di Asia Tenggara. Karya lainnya adalah Kitab Mir’atu Thullab, kitab fikih muamalah pertama terlengkap, ditulis atas permintaan Sulthan Safiyatuddin. Dan karya-karya lainnya dalam berbagai disiplin keilmuan. Selain sebagai penulis, Syekh Abdurrauf juga dikenal sebagai seorang murabbi yang banyak mengkader para ulama yang dikenal sesudahnya.

Adapun di antara ulama yang dikenal sebagai ilmuwan yang meneruskan jejak Syekh Abdurrauf Singkel adalah: Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang ulama besar yang berasal dari Pariaman Padang dikenal dengan sebutan Tuangku Ulakan. Murid Syekh Abdurrauf lainnya berasal dari Jawa Barat adalah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang menyebarkan Tarekat Syattariah di Jawa. Ada pula yang menyebut bahwa Syekh Yusuf al Makassari seorang tokoh yang dianggap suci oleh rakyat Afrika Selatan ketika beliau diasingkan ke sana juga murid dari Syekh Abdurrauf Singkel.

Sedangkan murid yang melanjutkan estafetnya di Aceh adalah Syekh Daud Rumi yaitu ulama keturunan Turki yang wafat di Aceh, disebutkan beliau adalah pengarang Kitab masyhur ‘Masailal Mubtadiin’. Dan banyak lagi murid Syekh Abdurrauf yang bertebaran di alam Melayu, ada yang menyebutkan bahwa Pengarang Kitab Hikam Melayu Tokku Pulau Manis Trengganu yang dikenal keramat juga murid dari beliau. 

Selain sebagai guru besar, Syekh Abdurrauf Singkil juga seorang Mursyid untuk Tarekat Syattariah yang diterima dari gurunya Syekh Ahmad Qusyasyi dan Syekh Ibrahim Kurani. Umumnya jaringan Syattariah di Indonesia melewati jalur Syekh Abdurrauf Singkel mulai dari Aceh, Padang, Jawa Barat dan Sulawesi. Walaupun Syekh Abdurrauf hidup pada abad 17, namun pemikiran keagamaannya sangat inklusif dan maju. Beliau bisa merubah iklim keagamaan Aceh dari ketegangan Konsep Wujudiah dan Wahdatu Syuhud antara pengikut Syekh Hamzah Fansuri dengan Mufti Syekh Nuruddin al Raniri ke iklim Tasauf Sunni akhlakhi. Karena kebesaran jiwa dan cinta masyarakat untuknya ia digelar dengan sebutan Teungku Syiah Kuala artinya Ulama besar yang berkubur di Kuala, dan kuburnya sampai hari ini tidak sepi dari penziarah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *