Syekh Ihsan Jampes: Jalan Membangun Harmoni dan Moderat

Salah satu tokoh pesantren yang mengagumi pikiran-pikiran Al-Ghazali adalah Syekh Ihsan ibn Dahlan Jampes Kediri. SYEKH IHSAN JAMPES (1901 – 25 DzulHijjah 1371 H/ September 1952). Ayahnya, KH. Dahlan bin KH Saleh Bogor yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon, adalah perintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1886 M. Ibunya, Ny. Artimah adalah putri dari KH. Sholeh Banjarmelati Kediri. Nenek dari ayahnya, Ny. Isti’anah putri dari KH. Mesir bin K. Yahuda (seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan), yang bersambung kepada Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syekh Hasan Besari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya. Selain nyantri di Pesanten Bangkalan, Syekh Jampes juga pernah nyantri  di Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (pamannya), Pondok Pesantren Jamseran Solo, Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pondok Pesantren Mangkang Semarang, Pondok Pesantren Punduh Magelang, dan Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk. Rihlah ‘ilmiah yang ia lakukan tidak pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut.

Pada masa revolusi fisik 1945, Syekh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda. Di Pesantren Jampes, mereka meminta doa restu Syekh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syekh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih PP jampes sebagai lokasi teraman, dan Syekh Ihsan membuka gerbang pesantrennya lebar-lebar.

Beberapa murid Syekh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah Kiai Soim pengasuh pesantren di Tanggir Tuban, KH. Zubaidi Mantenan Blitar, KH. Mustholih Kesugihan Cilacap, KH. Busyairi Sampang Madura,  K. Hambili Plumbon Cirebon, K. Khazin Tegal, dan lain-lain. Karya-karyanya antara lain,  Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi), Siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf. Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf., Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik \[plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hukum merokok dan minum kopi (Bizawie, 2016: 105).

Karyanya, kitab Siraj al-Thalibin  yang terdiri dari dua jilid, tidak hanya diajarkan di nusantara, namun juga di mancanegara, misalnya Mesir dan Maroko, serta dijadikan referensi oleh beberapa perpustakaan dunia baik Timur maupun Barat. Sosoknya menjadi bukti apa yang dinyatakan oleh Abdurrahman Mas’ud (2004) “Tradisional bukanlah konservatif secara intelektual, seperti yang dibuktikan oleh tradisi kuat dunia Islam, serta ketekunan dan ketabahan dalam mencari ilmu, yakni santri yang haus akan ilmu pengetahuan. Fungsi ajaran Islam di tangan para ulama’ menunjukkan bahwa dinamisme intelektual dalam komunitas ini tetap terjaga esensinya, tidak tergoyahkan selama berabad-abad”. 

Baca Juga :

  1. Warisan Tasawuf Akhlaqi Syekh Sholeh Darat & Syekh Ihsan Jampes (1)
  2. Warisan Tasawuf Akhlaqi Syekh Sholeh Darat & Syekh Ihsan Jampes (2)
  3. Warisan Tasawuf Akhlaqi Syekh Sholeh Darat & Syekh Ihsan Jampes (3)

Ulasan tasawuf Syekh Ihsan yang menggunakan bahasa Arab fushamemungkinkan karyanya, Siraj al-Talibin, dapat dibaca oleh kalangan peminat dan pemerhati dunia tasawuf, khususnya tasawuf Ghazalian. Padahal, sebagai penafsir konsep-konsep tasawuf, lokalitas Syekh Ihsan meniscayakan turut mempengaruhi pada tafsiran-tafsirannya yang kemudian tidak salah bisa dikategorikan model penafsiran tasawuf lokal (local sufism). (Wasid, 2016)

Kitab Siraj al-Talibin(lentera bagi para pencari jalan Allah) adalah sharah dari karya imam Al-Ghazali, yakniMinhaj al-‘Abidin(jalan bagi para penyembah). Dilihat dari judulnya Siraj al-Talibin, nampaknya karya Syekh Ihsan ini laksana lampu bagi  mereka yang mendambakan kedekatan diri kepada Allah SWT. Karya ini dalam versi cetak terdiri dari dua jilid dengan jumlah halaman lebih dari 1000 dengan ulasan menggunakan bahasa arab baku (fusha). Ulasannya yang begitu luas dan lugas mengantarkan kitab sharah ini semakin mudah dipahami, terlebih dalam konteks mempermudah pemahaman atas karya Al-Ghazali; Minhaj al-‘Abidinyang dalam versi cetak hanya terdiri dari 93 halaman.

Syekh Ihsan telah memberikan jalan dalam membumikan nilai-nilai tasawuf untuk kehidupan kemanusiaan. Tasawuf bukan dimaknai secara sempit hanya mengantarkan individu dekat dengan Allah SWT, tapi memiliki kepedulian terhadap kondisi sosial masyarakatnya, terlebih dalam rangka mengentaskan segala penyakit sosial yang menimpanya. Ia mengajak agar mereka yang menapaki jalan tasawuf menuju derajat ma’rifat Allah untuk terus menempatkan pesan perdamaian dan kasih sayang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap perjalanan, bahkan hal ini menjadi keharusan.

Menurut Syekh Ihsan, “Seyogyanya bagi setiap orang agar mengasihi saudaranya untuk menyamai-Nya (sifat-sifatNya, penulis). Ka’ab al-Ahbar berkata: dalam kitab Injil tertulis ”Sebagaimana anda dikasihani, maka niscaya anda mengasihani. Bagaimana mungkin anda mengharapkan kasih sayang dari Allah, sementara anda tidak menebarkan kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya” (Wasid, 2016). Ungkapan ini memuat prinsip-prinsip keluhuran dalam konteks kehidupan sosial. Setiap individu yang memiliki komitmen menjaga harmoni dengan Allah melalui ketaatan secara total dan tanpa pamrih, ia berkewajiban untuk terus menjaga harmoni dengan sesama. Hal ini dipahami bahwa menebarkan cinta dan harmoni kepada sesama tidak lain adalah sebagai wujud dalam rangka untuk meniru “keluhuran sifat-sifatNya, yakni sifat al-rahmandan al-rahim.”

Dalam implementasinya, Syekh Ihsan juga terlibat memberikan solusi dalam menghadapi perang melawan penjajah, apalagi setelah resolusi Jihad digelorakan pada tanggal 12 Oktober 1945. Ini menunjukkan kemampuan Syekh Ihsan melakukan internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai tasawuf sehingga tidak saja berorientasi pada pencapaian kesalehan individual menuju kebahagiaan hakiki (ma’rifat Allah), namun juga kesalehan sosial dengan menyikapi langsung kehidupan sosial masyarakatnya yang secara umum menghadapi tekanan dari para penjajah. Pesan ini yang sebenarnya tersirat sejak awal dalam karya Siraj al-Talibin, yang ia tegaskan bahwa manifestasi dari kesungguhan orang beragama adalah keharusan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan dalam praktik kemanusiaan, misalnya sifat kasih sayang-Nya diaplikasikan sebagai kerangka etik bagi manusia untuk selalu mengutamakan sikap mengasihi kepada sesama (Wasid: 2016).

Bersambung ke bagian 5

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *