Saya merasa beruntung bisa merasakan (sejak remaja SMA) “bergaul” tanpa rasa curiga dengan teman-teman saya yang beretnis Tionghoa meskipun berbeda agama. Sampai sekarang pun teman-teman saya yang berlatar etnis Tionghoa terus bertambah. Bahkan sebagian teman SMA sampai sekarang masih bisa terus bersilaturahmi lewat platform sosmed Facebook ini dan sesekali “kopdar”, lewat arisan alumni SMA. Ada yang namanya Budiman Hoo Kiat, Ratna Liem, Budi Lay Santoso, Lucky, Agung, pak Liem Tiong Yang, Mbak Agnes, Bu Fransiska Abigail Susana dan yang lainnya. Pertemanan ini melampaui bayangan saya sendiri yang sejak kecil sampai Tsanawiyah tidak pernah membayangkan akan punya teman-teman baik yang berasal dari kalangan etnis Tionghoa yang berbeda agama. Walaupun bapak saya mengajarkan untuk selalu berteman dengan siapa saja selama dia orang baik. Karena sebagaimana saya ceritakan pada status sebelumnya. Bapak dan kakek saya bahkan punya “kenalan” orang Belanda, Jepang, Arab dan China. Konon bahkan kakek menurut bapak “cukup” terampil berbahasa Belanda. Maka tidak aneh jika bapak pun cukup menguasai beberapa percakapan penting dalam bahasa Belanda. Apalagi bahasa Arab.
Meskipun penguasa kolonial Belanda dan juga Orde Baru melakukan beragam upaya sistematis untuk “menjauhkan” kita dengan berulangkali menguatkan stigma perbedaan antara penduduk “lokal” dan “pendatang”. Namun tetap saja ada sisi-sisi kemanusiaan kita yang tidak bisa didekte oleh regim yang paling “otoriter” sekalipun. Selalu ada ruang-ruang yang tak tersentuh dan luput dari kecurigaan mereka. Salah satunya adalah kebijakan “peleburan” sosial dengan membuka sekolah-sekolah negeri bagi semua warga negara. Meskipun tidak “populer” dalam konstruksi “budaya” komunitas “peranakan” (karena politik pecah belah kolonial), namun selalu ada orang Tionghoa yang punya “semangat” untuk menyatu dengan masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Di antara mereka itu adalah teman-teman saya di atas.
Kami tidak pernah merasa berbeda sebagai siswa sekaligus sebagai bagian dari anak bangsa Indonesia. Kami sama-sama merasa sebagai orang Indonesia yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan persaudaraan atas nama bangsa dan kemanusiaan. Kami bisa tertawa dan bahagia bersama, meski kadang merasakan kesedihan jika melihat masih begitu banyak masyarakat yang tetap curiga karena ketidaktahuan mereka akan sejarah bagaimana kita “dipecah belah” oleh regim penguasa. Sehingga energi kita sejak masa kerajaan sampai sekarang habis untuk saling curiga dan bahkan terkadang memuncak dalam “kedholiman” yang luar biasa. Padahal Tuhan telah berulangkali memberikan kita kesempatan untuk bisa saling melengkapi dalam tradisi. Lihatlah betapa baju Koko yang kita pakai ke masjid adalah ekspresi budaya Tionghoa? Lihat lah foto perempuan dalam keluarga Tionghoa masa lalu yang juga tidak sedikit yang memakai kebaya Jawa. Bahkan dahulu keluarga kami menjadi pelanggan toko milik milik orang Tionghoa “totok” yang pinter bahasa Madura dan Jawa halus. Saya mendengar sendiri bagaimana bapak berkomunikasi dengan mereka dalam keakraban yang “tanpa sekat”.
Namun sejak kuliah dan mulai belajar sejarah saya baru melihat “keanehan” proses sosial yang terjadi di negeri ini. Kenapa proses-proses yang saya alami di atas ternyata adalah sebuah “kemewahan” yang sulit ditemui dalam keumuman kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara? Kenapa tingkat “kecurigaan” kita pada saudara kita senasib dan sebangsa dari minoritas Tionghoa bisa begitu tinggi dan berbeda dengan sikap kita pada pendatang yang lain seperti orang Arab, Eropa dan India misalnya? Padahal orang Eropa jauh lebih kejam perlakuan mereka terhadap bangsa kita. Kenapa kita tidak memulai lagi mengorek “sejarah” di masa lalu yang lebih positif, yang menjadikan kita bisa menerima beberapa identitas kultural Tionghoa yang sudah melekat pada diri kita dan bahkan melekat pada tempat-tempat ibadah, baik itu masjid, gereja, klenteng dan vihara kita ? Sudah saatnya kita membuka diri dan bercermin sebagai anak bangsa, yang bahkan sudah punya sejarah hidup bersama sebelum bangsa Indonesia ini merdeka. Orang-orang Tionghoa sudah menjadi bagian dari bangsa ini sejak awal wilayah Nusantara ini terbentuk sebagai sebuah wilayah kultural dan politik. Bahkan mungkin sebelum masa itu mereka juga sudah datang, bukankah sebagian dari wali Songo adalah keturunan Tionghoa? Kenapa hanya etnis ini saja yang sampai sekarang begitu susah kita terima? Tentu harus ada sebuah proses refleksi bersama di antara kedua belah pihak, sehingga ditemukan titik sejarah dan budaya mana yang bisa menghadirkan “cinta” yang menyatukan dan titik sejarah dan budaya mana yang berpotensi menimbulkan hadirnya kebencian yang menghancurkan. Mereka yang mayoritas harus mulai lebih terbuka dan percaya bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah pembentukan bangsa. Di sisi lain kaum minoritas juga harus lebih proaktif “bergaul” dan mengurangi “eksklusivitas” sikap dan perilaku sosial, budaya dan ekonomi mereka. Sehingga tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh regim untuk kepentingan “politik” pecah belah mereka yang eksploitatif. Kita tidak boleh “menyerah” dalam memperkuat kembali rasa “persaudaraan” sebangsa. Kita harus selalu bersatu dalam melawan kejahatan politik kebudayaan yang membodohkan dan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. #SeriPaijo
Tawangsari 17 Oktober 2020
No responses yet