al-Mizan ialah salah satu majalah yang tersohor di Minangkabau awal abad 20. Majalah ini digerakkan oleh Syarikatul Ihsan Maninjau di bawah asuhan Syaikh Hasan Bashri, seorang ulama terkemuka di Maninjau yang waktu itu menduduki jabatan sebagai “de commissaris” Ittihad Ulama Sumatera (Persatuan Ulama Sumatera) 1916. Setelah PERTI dimufakati, pada tahun 1930, beliau kemudian menjadi salah satu sesepuh persatuan ulama-ulama tua tersebut.
Majalah al-Mizan, selain berisi karangan-karangan mengenai agama, juga memuat pertanyaan dan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu berasal dari pembaca al-Mizan dari berbagai daerah, seperti dari Aceh, Tapanuli, Deli, Pekanbaru, Jambi, dan daerah-daerah Sumatera Barat sendiri. Pertanyaan ini dijawab oleh sederetan ulama besar yang menjadi penyokong Majalah al-Mizan. Diantara ulama-ulama itu ialah Syaikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (beliau sebagai pimpinan Ittihad Ulama Sumatera), Syaikh Khatib ‘Ali Padang, Syaikh Muhammad Nur Bayur Maninjau, Syaikh Abdullah Maninjau, Syaikh Sulaiman Arrasuli Candung, Syaikh Jamil Jaho Padangpanjang, dan Syaikh Machudum Tanjuang Bingkuang Solok. Umumnya ulama-ulama tersebut ialah faqih dalam Mazhab Syafi’i, yang belajar agama bertahun-tahun di Tanah Suci Mekkah, bahkan beberapa diantaranya pernah mengajar di Mekkah.
Baca juga: Ulama Di Minangkabau Mengajarkan Kaum Ibu Memakai Tutup Kepala (1)
Pada nomor ke-VIII Majalah al-Mizan, tepatnya 1 Syawal 1338 H (atau 18 Juni 1920), datang pertanyaan dari seseorang bernama Abdurrahman yang bermukim di Tapung, Pekan Baru, Riau. Orang tersebut mengutarakan 4 pertanyaan kepada redaksi al-Mizan, dan meminta jawaban yang terang.
Salah satu pertanyaan itu berbunyi: “Bagaimanakah pengetahuan “al-Mizan” tantangan perempuan yang berjalan ke pasar atau kemana-mana dengan tidak menutup auratnya sebagaimana yang disuruh oleh syarak, karena pada negeri-negeri kita [di] Bawah Angin sudah rata-rata perempuan memperbuat yang demikian. Maka raja-raja dan qadhi-qadhi tidak memberi hukuman buat melarang pekerjaan itu, jadi kami masih berpandangan dengan perempuan itu, adakah hukum kami berdosa besar juga karena pandang kami bukan disengaja atau bukan dengan syahwat, dan bagaimana pula hukum kepada raja-raja dan qadhi yang tersebut, adakah ia menanggung dosa itu atau tidak?”
Pernyataan ini dijawab oleh redaksi al-Mizan, yang tidak lain ialah ulama-ulama tadi, dengan sangat tafshil, panjang lebar. Mulai dari masalah aurat, dari berbagai sudut pandang, hingga keadaan perempuan di Negeri Bawah Angin (Melayu).
Diantara jawaban redaktur al-Mizan, Jawab: “…… (ketiga) aurat perempuan dengan laki-laki, maka yaitu sekalian badan perempuan itu aurat menisbahkan bagi laki-laki melainkan muka dan dua kaff (yaitu zhahir dua tapak tangan dan batinnya hingga pergelangan), maka haram bagi si-laki-laki menilik kepada aurat perempuan yang telah disebutkan itu, dan demikian juga wajib atas perempuan menutupi dia dengan hadir laki-laki yang ajnabi.”
Setelah itu redaktur menjelaskan tafshil melihat wajah dan tapak tangan perempuan dengan beberapa syarat, terutama aman dari fitnah. Kemudian jawaban ini ditutup dengan penjelasan sebagai berikut.
“Adapun raja-raja dan qadhi-qadhi yang mempunyai kekuasaan tentu wajib atasnya menyuruh dengan ma’ruf dan melarang dari pada yang munkar. Dan apabila tidak ada yang sedemikian itu tentu saja ia pada kemudian hari akan dapat siksa, karena raja-raja itu diumpamakan seperti orang yang gembala, maka ditanya ia kemudian hari dari pada pekerjaannya mengembalakan itu: adakah ia menyuruh dengan ma’ruf dan melarang yang munkar melainkan apabila ada baginya udzur yang shahih. Wallahu a’lam bis shawab.
No responses yet