Saya selalu meyakini bahwa “kealiman” adalah hak prerogatif Allah. Bisa saja Allah tidak membuat alim orang yang telah belajar dari kecil dan menghabiskan puluhan tahun umurnya untuk meneguk ilmu. Tak menutup kemungkinan juga, Allah menjadikan seseorang alim meski belajar dalam waktu yang tidak lama dan di masa tua atau mendekati tua. Sebab ‘Ta’tsir’ kealiman itu murni dari Allah. Kita cuma disuruh menanam, berbuah atau tidak, hak veto Allah yang menentukan. 

Imam Ali al-Kisa’i, Imam Qiraat, Nahwu, pakar bahasa kenamaan, termasuk ulama yang lambat belajar. Al-Hafidz al-Zahabi tidak menyebutkan berapa umur beliau ketika mulai belajar. Beliau hanya menyebutkan تعلم عن كبر. Intinya bukan di waktu belia. Meski demikian, Allah menjadikan beliau alim. Ketika beliau meninggal, kebetulan imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani juga meninggal, Harun ar-rasyid mengatakan:

دفنت الآن الفقه والنحو 

“Ilmu fikih dan nahwu telah dikebumikan hari ini”

Saya memahami perkataan itu bahwa ilmu berada di dada ulama. Karena ilmu itu malakah dan malakah tidak ditemukan di kitab, melainkan ada pada seorang ulama. Kalau ilmu sekedar di kitab, tentu pemilik maktabah adalah orang yang paling alim. 

Muhammad Abu Bakar al-Razi. Saya kutip ulang apa yang pernah saya tulis tentang beliau 

Abu Bakar al-Razi (w. 311 H) di masa mudanya bekerja sebagai penyanyi dan penabuh gendang. Ketika umurnya beranjak tua, beliau membenci pekerjaan itu dan menganggapnya tidak pas dengan dirinya. Setelah itu, beliau baru memutuskan belajar ilmu kedokteran dan filsafat secara totalitas setelah umurnya lebih dari 40 tahun!!!  

Di sisa umurnya, Abu Bakar al-Razi hanya fokus terhadap ilmu. Hingga wafat, beliau telah menulis kitab al-Hawi, sebuah ensiklopedis kedokteran sebanyak 30 Jilid. Karya beliau mencapai 250 kitab! Rahimahullah

Demikian ringkasan apa yang dijelaskan Ibnu Khalikan

Qultu: Banyak ulama yang lambat dalam belajar. Tapi mereka mengalahkan orang-orang yang sejak kecil telah belajar. Syahidul Mimbar, syaikh Buthi mengatakan: العلم منحة إلهية “Ilmu itu beasiswa Allah”

Imam Ibnu Hazm, belajar ketika umur beliau 26 tahun. Demikian, tulis al-Zahabi. Beliau terlalu masyhur dijelaskan. Karyanya terlalu agung dipaparkan. 

Imam Qaffal al-Marwazi, baru belajar di umur 40 tahun. Tapi kemudian hari beliau jadi raksasa ulama Syafi’iyah. 

Syaikh Khalid al-Azhari baru mulai belajar ketika umur 36 tahun dan itu setelah beliau dibully oleh seseorang. Di usia segitu, beliau memantapkan dirinya untuk belajar. Di kemudian hari, beliau menjadi ulama lughah yang aqliyahnya luar biasa. Sekali lagi, kealiman seseorang murni hak veto Allah. Saya suka sekali apa yang diungkapkan Imam Ibnu Malik

إذا كانت العلومُ مِنَحاً إلهية، ومواهبَ اختصاصيةً فغيرُ مستبعَدٍ أن يُدَّخَر لبعض المتأخِّرين ما عسُرَ على كثيرٍ من المتقدِّمين، 

Jika memang ilmu itu beasiswa tuhan dan pemberian nan spesial, tidak menutup kemungkinan orang-orang mutakhir ditemukan sesuatu yang sulit ditemukan oleh mutakaddimin. 

Imam Murtadha al-Zabidi al-Azhary memberi catatan atas perkataan ini

 والمعنى أن تَقدُّم الزمان وتأخُّرَه ليست له فضيلةٌ في نفسه؛ لأن الأزمانَ كلَّها متساويةٌ، وإنما المعتَبر الرجالُ الموجودون في تلك الأزمان، فالمصيبُ في رأيه ونقلِه ونقدِه لا يضرُّه تأخُّرُ زمانِه الذي أظهره اللهُ فيه، والمخطئ الفاسدُ الرأيِ الفاسدُ الفهمِ لا ينفعه تقدُّم زمانِه، 

Pada hakikatnya tidak ada keutamaan pada zaman lampau dan zaman sekarang, karena mereka sama. Yang diperhitungkan adalah orang-orang yang hidup di zaman itu. Orang yang benar dalam pendapatnya, kutipan dan kritikannya, tidak dapat dipengaruhi hanya gara-gara dia di zaman mutaakhir. Dan orang yang salah pemahaman dan pendapatnya, lampaunya sebuah zaman tidak memberi efek kepadanya. 

Saya memahami mutakaddim dan mutaakhir, bukan sekedar orang-orang zaman lampau dan zaman mutaakhir. Saya memahaminya dengan hal lain: keterlambatan dan ketidak terlambatan. Ilmu adalah beasiswa Allah, siapapun bisa diberi beasiswa ini meski dia lambat belajar. Bisa saja Allah justru tidak memberi beasiswa yang agung ini kepada orang yang telah belajar dari sejak kecil. Makanya gak usah sok meski ditakdirkan belajar dari kecil. 

Saya pernah ditanya seorang senior saya: 

“Apakah saya tidak lambat kalau mau mengafal Alquran?” Spontan saya menjawab bahwa di Jombang dulu ada seorang satpam yang mulai menghafal saat umur 60 tahun. 60 tahun, Gaes! Dan Allah berkehendak mengkhatamkan hafalannya di umur 70 tahun. Tentu semua itu preogratif Allah. 

Syaikh Fauzi mengatakan:

“Tidak dikatakan terlambat orang yang telah memulai perjalanannya!”

Madinatul Buuts, 17 Juli 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *