Nilna Nur afifah
Seiring dengan perkembangan zaman, maka teknologi informasi juga ikut berkembang pesat. Teknologi memegang peran penting dalam segala aspek kehidupan manusia. Kini teknologi bukan hanya sebatas benda ataupun mesin-mesin besar. Lebih dari itu, teknologi telah berkembang menjadi sesuatu yang tidak terwujud, dan mampu menghubungkan dunia nyata dan dunia maya, teknologi ini dikenal dengan sebutan internet. Internet membawa perubahan signifikan dalam berinteraksi, berkomunikasi maupun mendapatkan informasi. Dengan memanfaatkan teknologi ini, kita dapat terhubung dengan orang-orang diseluruh dunia, mengakses berbagai sumber informasi serta menjalankan berbagai aktivitas online tanpa terbatas oleh batas wilayah. Dengan hitungan menit informasi dapat menyebar kepada puluhan bahkan ratusan manusia melalui grup aplikasi chatting maupun media sosial. Dibalik kecepatan dan kemudahan dalam membuat dan menyebarkan informasi, terdapat berita bohong (hoax) yang menghantui para pengguna media sosial dan aplikasi chatting. Padahal agama Islam sejak awal telah membimbing umatnya untuk selalu berkata jujur dalam menyebarkan informasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menanggulangi berita hoax tersebut, maka bertabayyun dalam menerima informasi sangat dibutuhkan. Dalam Islam, tabayyun berarti mencari kebenaran atau meluruskan suatu hal, tabayyun sendiri menurut bahasa adalah telitilah dulu. Sebagai umat Islam sudah seharusnya kita dapat memfilter dan menelaah informasi atau sebuah permasalahan yang terjadi. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, Rosululloh memberikan teladan sikap yang bijaksana, sebagaimana tergambar dalam beberapa riwayat hadis. Salah satu contoh sikap tabayyun yang dilakukan oleh Rosululloh terhadap non-muslim, yang terdapat dalam Sahih Muslim nomor 3157:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ قَالَ يَحْيَى وَحَسِبْتُ قَالَ وَعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ أَنَّهُمَا قَالَاخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَهْلِ بْنِ زَيْدٍ وَمُحَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودِ بْنِ زَيْدٍ حَتَّى إِذَا كَانَا بِخَيْبَرَ تَفَرَّقَا فِي بَعْضِ مَا هُنَالِكَ ثُمَّ إِذَا مُحَيِّصَةُ يَجِدُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَهْلٍ قَتِيلًا فَدَفَنَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ وَحُوَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ وَكَانَ أَصْغَرَ الْقَوْمِ فَذَهَبَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لِيَتَكَلَّمَ قَبْلَ صَاحِبَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبِّرْ الْكُبْرَ فِي السِّنِّ فَصَمَتَ فَتَكَلَّمَ صَاحِبَاهُ وَتَكَلَّمَ مَعَهُمَا فَذَكَرُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتَلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَهْلٍ فَقَالَ لَهُمْ أَتَحْلِفُونَ خَمْسِينَ يَمِينًا فَتَسْتَحِقُّونَ صَاحِبَكُمْ أَوْ قَاتِلَكُمْ قَالُوا وَكَيْفَ نَحْلِفُ وَلَمْ نَشْهَدْ قَالَ فَتُبْرِئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا قَالُوا وَكَيْفَ نَقْبَلُ أَيْمَانَ قَوْمٍ كُفَّارٍ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى عَقْلَهُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Laits dari Yahya -yaitu Ibnu Sa’id- dari Busyair bin Yasar dari Sahal bin Abu Hatsmah – Yahya berkata: dan aku mengira dia berkata- dari Rafi’ bin Khadij bahwa keduanya berkata: “Abdullah bin Sahl bin Zaid dan Muhayishah bin Mas’ud bin Zaid pernah melakukan safar, hingga ketika mereka sampai di Khaibar, mereka berdua berpisah, Tidak beberapa lama Muhayishah mendapati Abdullah telah terbunuh, dia pun menguburkannya. Sesudah itu dia datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama-sama dengan Huwaishah bin Mas’ud dan Abdurrahman bin Sahl. Sedangkan Abdurrahman adalah yang paling muda di antara mereka, tetapi Abdurrahman yang lebih dahulu berbicara daripada saudara sepupunya itu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dahulukanlah yang lebih tua umurnya.” Maka ia pun diam dan kedua saudaranya lalu angkat bicara. Keduanya menceritakan kepada beliau bahwa Abdullah bin Sahal telah terbunuh, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka: “Maukah kalian bersumpah lima puluh kali? Jika kalian mau bersumpah, maka kalian berhak menuntut balas atas kematian saudara kalian.” Mereka menjawab, “Bagaimana kami harus bersumpah, sedangkan kami tidak menyaksikan terjadinya pembunuhan itu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika begitu maka orang-orang Yahudi akan bebas dari kalian dengan lima puluh sumpah yang mereka lakukan.” Mereka menjawab, “Bagaimana mungin kami dapat menerima sumpah orang kafir itu?” melihat kondisi seperti itu, akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan diyatnya (tebusannya).” (HR. Muslim 3157)
Hadis tersebut merupakan contoh sikap tabayyun yang dilakukan oleh Rosululloh dalam menghadapi persengketaan antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi. Suatu ketika, terjadi perselisihan antara kelompok Muslim dan Yahudi di wilayah Khaibar. Perselisihan ini muncul akibat terbunuhnya seorang Muslim di Khaibar yakni Abdullah bin Sahl, yang memicu konflik antara kedua kelompok tersebut. Salah seorang kerabat Abdullah bin Sahl, tanpa menyaksikan langsung kejadian tersebut, menuduh Yahudi sebagai pelaku pembunuhan. Salah satu indikasi tuduhan kepada kaum Yahudi yakni, karena peristiwa tersebut terjadi diperkampungan Yahudi. Setelah Rosululloh mendapat kabar dari salah satu kerabat Abdullah bin Sahl (Muhayyishah), beliau langsung mengirimkan surat kepada kaum Yahudi di Khaibar. Akhirnya, surat tersebut dijawab oleh kaum Yahudi, dan mereka membantah atas tuduhan pembunuhan tersebut. Atas bantahan tersebut, Rasululloh meminta Muhayyishah bersumpah. Akan tetapi, Muhayyishah menolak dikarenakan memang dia tidak melihat langsung bahwa Abdullah bi Sahl dibunuh Yahudi. Hal ini, yang menjadi problem Rosululloh dalam memutuskan perkara dimana tidak ada saksi yang benar-benar menyaksikan peristiwa tersebut. Melihat kondisi tersebut, maka Rosululloh memutuskan untuk membayar diyat (denda) kepada keluarga Abdullah bin Sahl. Dari pengembilan keputusan ini, mungkin Rosululloh mengalami kerugian dari segi materi. Dalam hal ini, beliau rela berkorban demi menjaga perdamaian yang telah disepakati sehingga peperangan bisa terhindarkan.
Dari penjelasan makna hadis tersebut, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah terutama persoalan mengenai simpang siurnya suatu berita kita harus mendahulukan sikap tabayyun. Pada proses tabayyun terdapat sikap kehati-hatian dan tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan suatu persoalan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan kekeliruan dalam mengambil keputusan. Jika dikaitkan dengan konteks saat ini,dimana informasi dengan mudahnya bertebaran terutama melalui media internet justru mendorong kita agar lebih ekstra hati-hati dan tidak tergesa-gesa menelan mentah-mentah berbagai informasi yang kita dapatkan. Hal ini dikarenakan sulitnya kita mengidentifikasi secara jelas para penyebar informasi tersebut, apakah yang menyebar informasi tersebut orang fasik atau bukan. Bahkan terkadang orang yang tidak fasik pun tak luput dari melakukan kesalahan ataupun kecerobohan dalam menyebarkan informasi yang belum tentu benar. Oleh sebab itu, pentingnya kesadaran dalam melakukan tabayyun, baik dalam menerima maupun menyampaikan sebuah informasi, seharusnya diberikan perhatian yang lebih besar dizaman ini.
No responses yet