Sayyid Usman (nama lengkapnya al-Habib Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-‘Alawy al-Husainy) adalah tokoh Arab-Hadrami paling terkemuka di Nusantara pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M. Dia adalah mufti Betawi (Batavia) yang dikukuhkan oleh kolonial Belanda. Dia juga menempati posisi khusus pada administrasi kolonial Belanda yaitu penasihat kehormatan bagi pemerintahan Hindia Belanda untuk urusan Arab yang sering mengurusi masalah-masalah pribumi dan Islam. Dia juga adalah sahabat karib Snouck Hurgronje. Adapun kakeknya, Sayyid Abd ar-Rahman al-Mishry (w. 1847 M), yang berasal dari Mesir, juga adalah seorang yang ahli dalam bidang ilmu falak (astronomi). Salah satu kontribusinya adalah akurasi dan koreksi arah kiblat beberapa Masjid di Palembang. Sayyid Abd ar-Rahman (kakek Sayyid Usman) sendiri adalah yang mengasuh Sayyid Usman sejak kecil.

Naskah “Tahrīr Aqwā al-Adillah fī Tahshīl ‘Ain al-Qiblah” karya Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M)

Dalam kiprahnya di Nusantara, Sayyid Usman banyak terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan, bahkan pada masalah-masalah yang terbilang kontroversial yang mengemuka di tengah masyarakat ketika itu. Salah satu persoalan yang muncul ketika itu adalah masalah perbedaan penentuan awal bulan yang kerap terjadi di masyarakat. Penyebab terjadinya persoalan ini adalah karena tidak adanya kesepakatan tentang metode apa yang digunakan. Problema ini pada akhirnya mendorong Sayyid Usman menulis sebuah buku berjudul “Qaul ash-Shawāb”.

Persoalan lain yang sering muncul di tengah masyarakat yang juga dihadapkan kepada Sayyid Usman adalah terkait persoalan arah kiblat, bahkan masalah ini sangat sering muncul. Untuk masalah ini Sayyid Usman menulis buku berjudul “Tahrīr Aqwā al-Adillah fī Tahshīl ‘Ain al-Qiblah”. Buku ini ditulis pada awalnya atas permintaan sejumlah orang dari Banjarmasin. Buku ini ditulis dalam dua bahasa (Melayu dan Arab). Di bagian bahasa Melayu Sayyid Usman menjelaskan bahwa kira-kira 30 tahun sebelumnya dia sudah mencurahkan perhatiannya pada permasalahan arah kiblat ini dalam sebuah karya berbahasa Arab yang berjudul “Nafā’is an-Nakhlah fī Wasā’il al-Qiblah”. Dia mengungkapkan bahwa dia telah membuat bagan berisi arah kiblat yang tepat untuk berbagai tempat di Nusantara.

            Dalam karyanya “Tahrīr Aqwā al-Adillah fī Tahshīl ‘Ain al-Qiblah” ini terdapat sebuah kolom dengan lokasi yang presisi dari sejumlah tempat di Hindia-Belanda dalam derajat dan menit, dari Aceh hingga Ternate. Ini memungkinkan orang untuk menentukan arah kiblat yang tepat dan dengan begitu dapat membangun masjid-masjid baru dengan arah yang akurat. Berbagai macam bagan yang terkait dengan permasalahan ini kini masih tersimpan di Perpustakaan Leiden.

Selain itu, hal yang menarik juga dalam karyanya ini Sayyid Usman juga menjelaskan tentang fenomena Rasdul Kiblat yang merupakan sarana dan tata cara akurasi dan penentuan arah kiblat yang banyak digunakan di era modern. Seperti diketahui, Rasdul Kiblat adalah peristiwa astronomis saat posisi matahari berada tepat di atas Kakbah atau ketika matahari berdeklinasi 21º 25’ yaitu sama dengan Lintang Kakbah (21º25’). Fenomena ini terjadi akibat gerak semu tahunan matahari yang hanya terjadi di daerah yang memiliki lintang tidak lebih dari 23,5˚ LU dan 23,5˚ LS. Dalam rentang ini Matahari akan menyapu (menyinari) daerah-daerah yang memiliki Lintang antara 23,5º LU dan 23,5º LS, sebagian besar wilayah Nusantara-Indonesia masuk dalam rentang ini dan dimanfaatkan oleh kaum Muslimin untuk memastikan arah kiblat secara presisi.

“Rasdul kiblat” adalah istilah populer dan sudah lama dipraktikkan oleh umat Muslim di Nusantara. Dalam karyanya ini, Sayyid Usman menerakan gambar ilustrasi dan visualisasi Rasdul Kiblat di dunia Jawa-Melayu (Nusantara). Hanya saja dalam karyanya ini, sejauh penelusuran penulis, Sayyid Usman tidak menamakan fenomena ini dengan “rasdul kiblar” atau “rashd al-qiblah”, ia hanya menyebutkan “penjelasan tata cara lain untuk mengetahui zenit Kakbah dengan metode lintang dan bujur” (fi bayan kaifiyyah ukhra li ma’rifah samt al-Ka’bah min thariq al-athwal wa al-‘urudh), yaitu pada pembahasan (fasal) ke-12.

            Adapun tata caranya seperti dijelaskan Sayyid Usman adalah dengan menghadapkan wajah ke Matahari (saat di atas Kakbah) yaitu saat istiwak di kota Makkah, yaitu selama dua hari dalam setahun, yaitu (menurut Sayyid Usman) pada tanggal 30 Mei dan 18 Juli. Pada dua waktu dan dua hari ini Matahari berada di atas Kakbah, dengan catatan saat itu tidak ada penghalang di sekitarnya. Ketika itu, deklinasi Matahari bersesuaian dengan lintang kota Makkah (yaitu 21.5 derajat). Maka ketika itu siapa saja yang menghadap ke Matahari, atau menghadap melalui bayang-bayang suatu benda tegak lurus, maka sesungguhnya dia telah menghadap ke bangunan Kakbah secara hakiki (Tahrīr Aqwā: lembar ke-16).

Gambar: Ilustrasi dan visualisasi Rasdul Kiblat dalam naskah “Tahrīr Aqwā al-Adillah fī Tahshīl ‘Ain al-Qiblah” karya Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M).

Karya Sayyid Usman lainnya tentang arah kiblat adalah “Nafā’is an-Nihlah fī Wasā’il al-Qiblah”. Naskah ini terdiri dari 5 lembar (10 halaman), dan tampaknya tidak lengkap. Pada bagian mukadimah dijelaskan bahwa buku ini disusun dengan mengutip pendapat-pendapat para imam dalam mazhab Syafii yang terkait dengan persoalan arah kiblat. Dijelaskan pula bahwa naskah ini terdiri dari delapan perkara (pembahasan) yang masing-masing dijelaskan secara detail. Pada lembar ke-3 terdapat gambar arah Kakbah (kiblat) dari berbagai penjuru negeri. Sedangkan pada lembar ke-4 terdapat tabel (daftar) lintang dan bujur untuk berbagai wilayah.

Pada topik pembahasan kedua dikemukakan tentang kewajiban menghadap bangunan fisik (‘ain) Kakbah tatkala salat, dalam hal ini tidak mencukupi jika menghadap arah (jihah) saja. Menurut Sayyid Usman, keharusan itu berlaku baik bagi orang yang berada di Makkah maupun di luar kota Makkah. Ini adalah pendapat yang muktamad dan difatwakan dalam Mazhab Syafii. Menguatkan pendapatnya ini Sayyid Usman mengutip pandangan beberapa ulama besar dalam Mazhab Syafii, antara lain Ibn Hajar al-Haitamy dalam “Tuhfah al-Muhtāj” dan Syaikh Al-Bajury.[]

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *