Menggali Sejarah Pendiri Pesantren Tambakberas, Tebuireng, Denanyar dan Rejoso

Jombang telah lama dikenal sebagai kota santri di Timur pulau jawa. Jombang menjadi kawah candradimuka bagi generasi pejuang islam dari masa ke masa. Jombang adalah daerah yang banyak melahirkan ulama dan pejuang tanah air.

Konon, kata Jombang merupakan akronim dari kata berbahasa Jawa yaitu ijo (Indonesia: hijau) dan abang (Indonesia: merah). Ijo (hijau) mewakili kaum santri (agamais), dan abang (merah) mewakili kaum abangan (nasionalis/kejawen). Kedua kelompok tersebut hidup berdampingan, dan harmonis di Kabupaten Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang daerah Kabupaten Jombang.

Kyai Abdus Salam adalah sosok yang merintis berdirinya pesantren di Jombang adalah Kyai Abdussalam. Pejuang keturunan Raja Brawijaya, Majapahit ini adalah salah satu pimpinan pasukan dalam kancah Perang Jawa (1825-1830). Mbah Sechah adalah julukannya, karena lewat bentakannya bak sambaran petir mampu merenggut nyawa seseorang yang angkuh saat berhadapan dengannya.

Dalam Jejaring Ulama Diponegoro karya Zainul Bizawie disebutkan bahwa Kyai Abdus Salam bersama pengikutnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan disampingnya untuk 25 pengikutnya. Kelak, karena jumlah santrinya dibatasi 25 orang pondok ini dikenal dengan pondok selawe (dua puluh lama) atau pondok telu karena hanya ada tiga unit bangunan. 

BELI

Baca Juga : Merangkai Sejarah Jaringan Ulama Warisan Diponegoro

Kyai Abdus Salam adalah putra kyai Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdurrahman (Mbah Sambu bin Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir. Di kemudian hari keturunan Bani Abdussalam mendominasi jaringan ulama di wilayah Jombang dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan mayoritas silsilah para Kyai di wilayah ini mengerucut pada namanya.

Kyai Abdus Salam mendapat gelar  Mbah Sechah karena pernah suatu ketika ada seseorang  yang dengan angkuhnya menghinanya saat berkuda di hadapannya. Maka beliau pun membentak dengan keras, dan bentakan tersebut mampu merenggut nyawa orang tersebut. Bentakan bak petir menyebabkan beliau digelari Syaikhah atau sechah dalam lidah jawa.

Dari pondok telunya tersebut, terpilihlah dua orang santri hebat yang kelak menjadi menjadi menantu sekaligus penerus perjuangannya yakni Said dan Usman. Said akan dinikahkan dengan putri Mbah Sechah bernama Fatimah. Sedangkan Usman dikawinkan dengan Layyinah.

Disarikan dari Sejarah Tambakberas, Menelisik Sejarah Memetik Uswah, dari perkawinan Kyai Said dan Mbah Fatimah akan lahir akan lahir Hasbullah. Kyai Said sendiri jika ditelisik nasabnya juga bersambung dengan guru sekaligus mertuanya, Mbah Sechah. Kyai Said bin Syamsuddin adalah keturuan Pangeran Santri, Saudara kandung Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir, Pendiri Kerajaan Pajang.

Sepeninggal Kyai Said, kepengasuhan pesantren diemban oleh Kyai Hasbullah yang meneruskan pesantren peninggalan Mbah Sechah. Beliaulah yang menginisiasi berdirinya Masjid Jami’ Tambakberas. Pada masanya pesantren ini dikenal dengan Pondok Pesantren Tambakberas.

Dikutip dari tulisan KH. Syifa Malik, dalam Buku Sejarah Tambakberas, disebutkan bahwa setiap musim panen tiba, sawahnya menghasilkan berton-ton beras yang ditimbun untuk keperluan makan keluarga, tamu, santri dan masyarakat sekitar. Tumpukan beras itu terlihat seperti hamparan beras yang sekilas mirip tambak. Maka disinilah nama tambakberas berasal.

Mbah Hasbullah kemudian menikah dengan Nyai Latifah binti Abdul Wahab Tawangsari yang nasabnya juga bersambung dengan suaminya di Mbah Sambu (Sayyid Abdurrahman Basyaiban) bin Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir  yang makamnya berada di samping Masjid Lasem. Dari keduanya lahir  3 putra dan lima putri yakni: Wahab, Abdul Hamid, Khodijah, Abdur Rohim, Fatimah, Sholihah, Zuhriyah dan Aminaturrohiyah.

Putra pertama Kyai Hasbullah yakni Wahab akan menjadi singa podium yang menghertakkan penjajah. Di masa mudanya ia belajar ke Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sampai kemudian belajar ke tanah haram bersama sahabatnya Bisri Syansuri. Kelak sahabatnya yang berasal dari Tayu Pati tersebut akan  dinikahkan dengan adik Kyai Wahab yakni Khadijah. Dan sepulang dari Tanah Haram meneruskan perjuangan abahnya di Pesantren Tambakberas yang kelak akan diberi nama Bahrul Ulum, sedangkan Kyai Bisri Syansuri mendirikan Pondok Pesantren Mamba’ul Maarif di Desa Denanyar, Jombang pada tahun 1917.

Kembali ke menantu Mbah Sechah yang lain yakni Usman. Dikutip dari laman tambakberas.com, Kyai Usman yang menikah dengan Layyinah ini mendirikan Pondok di Dusun Gedang yang berlokasi di dekat Tambakberas. Pesantren tersebut memprioritaskan  pengajaran ilmu-ilmu thoriqot atau tasawuf, sedangkan sahabatnya Kyai Said menekankan pada pemahaman ilmu syariat. Kyai Usman dikenal sebagai mursyid Thariqah Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah, sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Ahmad Khotib As-Sambasi, Ulama besar dari Sambas, Kalimantan Barat.

Kelak dari perkawinan antara Kyai Usman dan Nyai Layyinah melahirkan 5 orang anak yang bernama unik yakni: Winih, Tandur, Cukul, Lilir, Tebul. Dari Winih atau berarti benih yang punya nama lain Halimah ini kelak dinikahkan dengan santrinya Kyai Usman yakni Asy’ari bin Abdul Wahid yang berasal dari Salatiga. Sesuai namanya dari lahir Nyai Winih akan muncul para ulama dan pejuang tanah air.

Ayahanda Kyai Asy’ari, Kyai Abdul Wahid bin Abdul Halim adalah komandan Perang Diponegoro yang berjuluk Pangeran Gareng dibawah Panglima Sentot Ali Basyah Prawirodirjo. Nasab Kyai Abdul Wahid juga ditarik ke atas juga akan bertemu Mbah Sechah juga Nyai Latifah (Istri KH. Wahab Hasbullah) yakni merujuk pada Mbah Sambu, cucu Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono bin Raden Patah. Raden Patah adalah putra dari  Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) dan menantu dari Sayyid Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel.

Setelah menikah Kyai Asy’ari bersama istrinya akan hijrah ke Desa Keras, Diwek. Di pesantren itulah beliau akan mendidik pejuang tanah air dan mengkader ulama salah satunya adalah Juremi. Juremi kemudian melanjutkan pendidikan ke Pesantren Demangan Bangkalan di bawah asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan. Sepulang dari sana Juremi yang kelak menyandang nama Cholil sepeninggal gurunya, akan merintis musholla Thoriqoh di Desa Rejoso. Selanjutnya beliau menikah dengan putri Kyai Tamim Irsyad, kawannya dari Bangkalan Madura. Dan keduanya akan bahu membahu membangun pondok Pesantren Rejoso yang kelak akan dikenal dengan Darul Ulum, Jombang.

Di Keras pula kelak akan lahir sosok yang berjasa besar dalam membentuk Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, sosok ulama yang alim Allamah sampai bergelar Hadratus Syekh karena hafal Kutubus Sittah (6 Kitab Hadist yakni Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmdzi, Sunan Ibnu Majah) dan sosok yang gigih berjuang melawan imperialisme Jepang maupun Belanda, belilaulah KH. Hasyim Asy’ari. 

Dilansir dari laman radarjombang.com, secara keseluruhan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah dikaruniai 11 anak diantaranya: Nafiah, Ahmad Soleh, Muhammad Hasyim, Rodiah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Ma’shum Nahrowi dan Adnan. Kyai Asy’ari di pemakaman umum Desa Keras, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Tak jauh dari Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh putra ketiganya, Hasyim Asy’ari pada tahun 1899.

Dilansir dari laman tebuirengonline.com, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari kelak akan menikah dengan Nyai Nafiqoh , anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan keduanya akan lahir 10 orang anak yakni: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholik), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh, dan Muhammad Yusuf. 

Putra kelima Kyai Hasyim yakni Abdul Wahid di kemudian hari akan nikahkan dengan putri dari muridnya yakni KH. Bisri Syansuri dengan Nyai Nur Khodijah binti Hasbullah yakni Solihah. Dari hasil perkawinan keduanya akan lahir generasi yang luar biasa yakni: Abdurrahman ad-Dakhil (Presiden Keempat Republik Indonesia), Aisyah Wahid, Sholahuddin Al-Ayyubi (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng 2006-2020), Umar Wahid, Khadijah Wahid, dan Hasyim Wahid.

KH. Hasyim Asy’ari juga pernah menikahkan muridnya yakni Romli bin Tamim Irsyad dengan putri Nyai Azzah, namun perkawinan itu tidak bertahan lama. Nyai Azzah akan menikah lagi dengan murid ayahnya dari Cirebon, yakni Kyai Idris Kamali. Sedangkan Kyai Romli kelak akan menikah dengan Nyai Maisaroh yang akan berputra Ishomuddin dan Mustain. Kyai Mustain kelak dinikahkan dengan Nyai Djumiatin putri KH. Wahab Hasbullah Tambakberas.

Baca Juga: Napak Tilas Pangeran Diponegoro di Goa Selarong

Begitulah sekilas genealogi dan silsilah keilmuan dari empat Pondok Pesantren Besar di Jombang. Mereka saling bersinergi dalam membentuk kader-kader pejuang ahlussunnah wal jamaah an-Nahdiyah di persada Nusantara. Semoga kita senantiasa terciprat keberkahan ilmu dari para Masyayikh Pendiri Pesantren Tebuireng, Tambakberas, Rejoso, Denanyar dan pesantren lainnya. Sehingga kita dan segenap keturunan kita akan menjadi ulama dan pejuang yang menyebarkan Islam Rahmatan Lil Alamin di penjuru dunia.

Jombang, 15 Sya’ban 1441 H

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *