Term “habib” secara kebahasaan biasanya diartikan sebagai “yang dikasihi”. Tentu, arti ini mengandung tafsiran yang begitu luas dan umum sekali.

Namun, secara sosiologis dan budaya indonesia, gelar “habib” atau yang semakna dengan istilah itu, umumnya dilekatkan untuk orang-orang yang punya darah nasab yang bersambung hingga rasulullah. Secara empirisnya, biasanya dibuktikan dengan silsilah nasab keluarga, yang diakui oleh – perkumpulan semisal- rabithah alawiyah dan naqabah al-asyraf al-kubra. Jadi, intinya adalah di titik nasab (darah biologis). Biasanya jalur darah Yaman.

Lalu, bagaimana menurut rasulullah; apakah “yang dikasihi” olehnya itu maksudnya adalah “habib” sebagaimana dalam konteks sosiologis dan budaya indonesia tersebut?

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad ibn Hanbal dalam musnadnya dan Imam Abu Dawud dalam sunannya dinyatakan;

عَنْ عُمَيْرِ بْنِ هَانِئٍ الْعَنْسِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ، يَقُولُ : كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ، فَذَكَرَ الْفِتَنَ فَأَكْثَرَ فِي ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ ، فَقَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ ؟ قَالَ : ” هِيَ هَرَبٌ وَحَرْبٌ ، ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ ، دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي ، وَلَيْسَ مِنِّي ، وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ ، ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ ، ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ ، لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً ، فَإِذَا قِيلَ : انْقَضَتْ ، تَمَادَتْ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا ، وَيُمْسِي كَافِرًا ، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ ، فُسْطَاطِ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ ، وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ ، فَإِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ ، مِنْ يَوْمِهِ ، أَوْ مِنْ غَدِهِ ”


dari ‘Umair ibn Hani al ‘Ansiy. Ia berkata: aku mendengar ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “pada suatu hari kami sedang duduk bersama rasulullah. Beliau memberikan peringatan tentang fitnah-fitnah (ujian besar di akhir zaman) yang banyak bermunculan, sampai beliau menyebutkan fitnah ahlas.

Seseorang bertanya : “wahai rasulallah, apa yang dimaksud fitnah ahlas?

Beliau menjawab :

“yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian fitnah sarra’ (karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam perilaku maksiat), yang asapnya berasal dari bawah kaki seseorang dari ahli baitku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku, karena sesungguhnya orang-orang yang ku kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa.

Baca Juga : Menjadi Pembelajar Mencintai Habaib

Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian fitnah duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.

Jika dikatakan : ‘ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut, di dalamnya seorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari men­jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan.

Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan dajjal pada hari itu atau besoknya.

Kemudian, berkenaan dengan hadis ini, Imam Mula Ali Al Qari (w. 1014 h) dalam Mirqatul Mafaatih Syarh misykatul Mashabih menyatakan;

(يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي) أَيْ: فِي الْفِعْلِ وَإِنْ كَانَ مِنِّي فِي النَّسَبِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّ تِلْكَ الْفِتْنَةَ بِسَبَبِهِ، وَأَنَّهُ بَاعِثٌ عَلَى إِقَامَتِهَا ” وَلَيْسَ مِنِّي ” أَيْ: مِنْ أَخِلَّائِي أَوْ مِنْ أَهْلِي فِي الْفِعْلِ ; لِأَنَّ لَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِي لَمْ يُهَيِّجِ الْفِتْنَةَ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ} [هود: 46] ، أَوْ لَيْسَ مِنْ أَوْلِيَائِي فِي الْحَقِيقَةِ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُهُ: ” إِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ “، وَهَذَا أَبْلَغُ مِنْ حَدِيثِ ” آلُ مُحَمَّدٍ كُلُّ تَقِيٍّ”

(maksudnya) ia mengaku bagian dariku, karena nyatanya ia bagian dariku dalam hal nasab. Adapun hasil nyatanya; fitnah tersebut ada karena disebabkan olehnya, dan ia mensupport akan tegaknya fitnah tersebut. Maka, rasulullah bersabda “laisa minni”, yang artinya; hakekatnya justru ia bukanlah ahli baitku (keluargaku). Sebab, jikalau ia benar-benar ahli bait rasulullah, maka tentu tidaklah ia berkontribusi pada adanya fitnah ini.

Ini persis sebagaiman yg allah ta’ala firmankan terhadap Nabi Nuh, sebab perilaku anaknya;

إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ


sesungguhnya ia (anakmu yg durhaka) bukanlah keluargamu, karena sesungguhnya perilakunya begitu buruk. (Qs. Huud; 46) artinya, pada hakekatnya ia itu bukanlah dari keluargamu.

Senada dgn hal itu, sabdanya;

إِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ

sesungguhnya orang-orang yang kukasihi hanyalah al-muttaqun (yang bertakwa). Inilah yg kemudian jadi dasar kaidah yg mengatakan bahwa;

آلُ مُحَمَّدٍ كُلُّ تَقِيٍّ

keluarga Nabi Muhammad adalah setiap orang yang bertakwa.

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa;

  1. berkenaan dengan tanda-tanda kiamat yang disampaikan rasulullah, itu pasti benar adanya.
  2. ada orang yang mengaku bagian dari Rasulullah sebab nasab, tetapi sang rasulullah enggan menganggapnya sebagai bagian darinya. Itu semua karena ketiadaan sifat serta sikap taqwa pada diri orang tersebut.
  3. sehingga, hal penting utama sebagai ahlu bait rasul adalah terejawantahkannya taqwa baik lahir maupun bathin.

Lalu bagaimana sikap seorang muslim terhadap habib;

  • bila sifat dan perilakunya mengejawantahkan taqwa secara lahir dan bathin, serta istiqamah dalam mempraktekan akhlak Nabi, maka agungkan dan jadikan ia sebagai tauladanmu, mursyidmu dan keberkahanmu. Lihatlah ia, sebagai pengejawantahan ekspresi cintamu kepada Rasulullah.
  • bila ada orang yang mengaku bernasab hingga Rasulullah, dan ia melakukan kenakalan dan kenyelenehan yang berlawanan dengan syariat dan akhlak Nabi, maka seorang muslim harus tetap memuliakannya, sebab adanya tetesan darah Rasulullah pada dirinya.

Tetapi, ia tidak boleh ridho, atau bahkan mensupport, atas laku kemungkarannya trsebut. Lalu, seyogyanya, ia menegur dan menasehatinya. Apabila ia enggan dinasehati, maka doakanlah ia.

Kemudian, apabila kemungkarannya masuk ke ranah hukum pidana, maka hukum harus tetap ditegakkan seadil-adilnya dan selurus-lurusnya.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *