Pemikiran tasawuf Syekh Ihsan adalah proses interpretasi dari pemikiran tasawuf sebelumnya, khususnya tasawuf Sunni-Ghazalian, namun ada unsur lokalitas yang mengiringi proses interpretasi tasawuf Ghazalian. Hadirnya kitab Siraj al-Thalibin dalam konteks tradisi intelektual pesantren, sekaligus dalam bingkai pergolakan Islam Nusantara, adalah dalam rangka meneguhkan komitmen Syekh Ihsan, pada kajian dan pengamalan tasawuf Sunni model imam al-Ghazali.

M.C. Ricklefs (2012), salah satu Indonesianis dari Australia, menyebutkan bahwa Pesantren Jampes turut berkontribusi besar dalam mendelegasikan santri-santrinya untuk ikut serta menggelorakan semangat Jihad (holy war) melawan penjajah, terlebih ketika semangat jihad itu digelorakan secara serentak oleh Hadratush Shekh Hasyim Asy’ari melalui fatwa resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang telah disepakati oleh semua elemen santri, yakni sebuah fatwa yang isinya menegaskan tentang kewajiban Muslim untuk mempertahankan NKRI dari segala bentuk penja-jahan. Bukan hanya itu, pesantren Jampes –begitu juga beberapa pesantren di Kediri seperti pesantren Lirboyo dan Bendo telah menampakkan wajahnya bukan saja menjadi tempat penggodokan kader-kader ulama’ beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tapi juga menjadi markas kemiliteran para laskar Hizbullah.

Salah satu warisan Syekh Ihsan adalah memberikan langkah-langkah dalam internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai tasawuf sehingga tidak saja berorientasi pada pencapaian kesalehan individual, yakni dalam rangka menuju kebahagiaan hakiki (ma’rifat Allah), tapi juga kesalehan sosial dengan menyikapi langsung kehidupan sosial masyarakatnya yang secara umum menghadapi tekanan dari para penjajah. Warisan inilah yang sebenarnya tersirat dalam karya Siraj al-Thalibin, bahwa manifestasi dari kesungguhan orang beragama adalah keharusan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan dalam praktik kemanusiaan, misalnya sifat kasih sayang-Nya diaplikasikan sebagai kerangka etik bagi manusia untuk selalu mengutamakan sikap mengasihi kepada sesama (Ihsan: 1984).

Menurut Syekh Ihsan, nilai-nilai Islam mengajarkan bahwa perkataan baik, menolong yang lemah, dan menghindari hal-hal yang menyakitkan orang lain adalah bagian dari ibadah (baca: shadaqah). Dengan begitu, maka mengerjakan perbuatan itu sama pentingnya dengan mengerjakan sholat, zakat, puasa dan haji. Karenanya, jihad salah satu fungsinya adalah menolong orang yang tertindas, sekaligus menyadarkan penjajah agar tidak melakukan penindasan terus menerus kepada orang lain sebab penindasan adalah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Komitmen Syekh Ihsan terhadap praktik-praktik bertasawuf dan berfiqih menunjukkan sikapnya berada pada kerangka cara berfikir moderat, yaitu selalu paradigma berpikir yang memandang persoalan tidak dalam bingkai ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, yang dalam kerangka teologis menjadi potret ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Makanya, berjuang melawan penjajah adalah kewajiban individu secara fiqih, sekaligus secara tasawuf dalam rangka meneguhkan revolusi moral (al-thaurat al-ruhiyyah).  Begitupun dalam memaknai konsep zuhud, ia selalu menekankan untuk tidak bertindak ekstrem dengan meninggalkan, bahkan mengharamkan, begitu juga konsep tawakkal.

Menurutnya dengan mengutip Farghali “Tasawuf mondorong manusia bukan hanya mengerjakan sesuatu yang wajib bagi dirinya, tapi menjadikannya agar senantiasa larut dan berkontribusi dalam kehidupan secara umum dengan semangat dan kekuatan nyata”, Syekh Ihsan ingin menegaskan bahwa aktivitas tasawuf bukan untuk mencari keteduhan individual, tapi juga keteduhan sosial dengan keterlibatan pelaku tasawuf untuk berkontribusi dalam menyelesaikan problem-problem kemanusiaan. Inilah cara agar tidak mudah bersikap ekstrem, yang secara nyata menjadi bagian dari sikap moderat dan toleran.

Baca Juga :

  1. Warisan Tasawuf Akhlaqi Syekh Sholeh Darat & Syekh Ihsan Jampes (1)
  2. Warisan Tasawuf Akhlaqi Syekh Sholeh Darat & Syekh Ihsan Jampes (2)
  3. Warisan Tasawuf Akhlaqi Syekh Sholeh Darat & Syekh Ihsan Jampes (3)
  4. Warisan Tasawuf Akhlaqi Syekh Sholeh Darat & Syekh Ihsan Jampes (4)

Dengan demikianm, Syekh Ihsan adalah potret dari sekian tokoh sufi yang mampu membumikan nilai-nilai tasawuf sebagai kerangka etik bagi pelakunya agar terus menciptakan ruang sosial yang damai dan bebas dari ketertindasan, di samping terus mengasah batin agar senantiasa kuat koneksinya dengan Allah sebagai sumber pengetahuan dan tujuan cinta sejati.

Penutup

Jati diri—atau yang lazim juga disebut identitas— merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Jika jatidiri bangsa mulai luntur, tidak tertutup kemungkinan Indonesia sebagai suatu bangsa pun akan pudar, bahkan tidak tertutup kemungkinan terancam larut dalam arus budaya global. Jika hal itu terjadi, jangankan berperan di tengah kehidupan global, menunjukkan jatidiri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi seperti itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya agar jatidiri bangsa kita tetap hidup di antara bangsa lain di dunia. Dalam konteks kehidupan global seperti itu, suatu artefak, naskah, peninggalan, tradisi dan warisan-warisan lainnya sangat penting untuk makin menemukan nilai-nilai untuk merevitalisasi jati diri bangsa, sekaligus juga merupakan simbol kedaulatan bangsa.

Terkait dengan itu, warisan tasawuf akhlaqi dari kedua ulama nusantara di atas, telah membentuk dan memperkaya unsur kekayaan budaya bangsa, seni budaya, adat istiadat atau tradisi, tata nilai, dan perilaku budaya sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai simbol yang dapat mencerminkan jati diri bangsa, baik dalam kaitannya dengan jatidiri lokal maupun jatidiri nasional. Warisan tersebut merupakan kearifan local yang dapat menjadi simbol jatidiri bangsa. Keduanya telah memberikan landasan moralitas, tangga menggapai akhlak yang paripurna dan jalan membangun hidup yang harmoni, toleran dan moderat. Mereka menekankan pentingnya seimbang antara kesalehan individual dengan kesalehan sosial.

Warisan Syekh Sholeh Darat dan Syekh Ihsan Jampes menjadi pintu masuk untuk memetakan genealogi pemikiran, landasan historis dan formula espitemologis dalam mengenal jatidiri bangsa yang relijius. Hal ini menjadi penting, karena selama ini jatidiri bangsa makin menjauh dari nilai-nilai yang telah tertanam di Nusantara. Tasawuf akhlaqi yang telah dikembangkan oleh kedua ulama tersebut sebenarnya telah dikembangkan ulama-ulama sebelumnya sejak walisongo yang telah membentuk dan menopang jatidiri bangsa saat ini. Warisan tasawuf akhlaqi yang memadukan antara kesalehan individual dan kesalehan social tersebut telah menjadi salah satu dasar dari identitas/jatidiri bangsa Indonesia yang terkonstruksi secara massif, yang kemudian menjadi fondasi Islam Indonesia saat ini, yaitu sikap toleran, moderat, damai dan terbuka. Warisan itulah yang telah menjadi modal utama para founding father dalam membangun Negara-bangsa (nation state) Indonesia yang memiliki dasar negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Wallahul A’lam..

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *